Karl Barth dan Teologi Politik: Tuhan di Atas Segala Kuasa - Nerapost
(Sumber gambar: daily-philosophy.com)
Karl Barth (1886–1968) adalah seorang teolog Protestan Swiss yang
menjadi tokoh sentral dalam teologi abad ke-20. Ia dikenal karena teologi
krisis dan kritik tajamnya terhadap penyalahgunaan agama oleh kekuasaan
negara, terutama selama masa Nazi di Jerman. Dalam konteks teologi politik,
Barth mengambil posisi yang sangat berbeda dari tokoh seperti Carl Schmitt.
1. Penolakan terhadap
Teologi Politik Sekuler
Barth menolak konsep “teologi politik” yang melihat Tuhan atau agama
sebagai legitimasi bagi kekuasaan negara. Dalam hal ini, ia berseberangan
langsung dengan Carl Schmitt, yang menganggap bahwa semua konsep politik modern
pada dasarnya adalah sekularisasi dari konsep teologis. Barth justru
membaliknya: bukan negara yang harus memakai teologi, tapi teologi yang harus mengoreksi
dan mengkritisi negara. Maknanya: Tuhan tidak bisa dijadikan alat
pembenaran politik. Ketuhanan tidak tunduk pada kepentingan negara Tuhan adalah
berdaulat mutlak.
2. Dialektika antara
Allah dan Dunia
Salah satu ciri khas teologi Barth adalah pendekatan dialektik: ia
selalu mempertahankan ketegangan antara Allah dan manusia, kekudusan dan
keduniawian. Dalam konteks politik, ini berarti bahwa kerajaan Allah tidak bisa
disamakan dengan kerajaan dunia mana pun. Negara atau ideologi politik apa pun
tidak boleh diklaim sebagai wujud dari kehendak Allah. Artinya, tugas gereja
bukan mendukung kekuasaan, tetapi menjadi saksi kenabian menunjuk pada Yesus
Kristus dan menegaskan kedaulatan Allah atas segala bentuk kekuasaan dunia.
3. Kristologi sebagai
Pusat Teologi Politik
Bagi Barth, Yesus Kristus adalah satu-satunya wahyu Allah yang sejati,
dan semua bentuk kekuasaan harus tunduk pada Kristus. Dengan menjadikan Kristus
pusat, Barth menolak semua bentuk ideologi politik yang absolut. “Hanya ada
satu Firman Allah—dan itu adalah Yesus Kristus.” Maka, teologi politik ala
Barth bukan tentang mendirikan negara Kristen, tapi tentang kesetiaan total
pada Kristus di tengah-tengah dunia yang penuh kekuasaan dan godaan ideologis.
4. Peran Gereja:
Berdiri di Samping yang Tertindas
Dalam konteks sosial-politik, Barth menekankan bahwa gereja harus berdiri di sisi korban, bukan penguasa. Ia terlibat dalam penyusunan Barmen Declaration (1934), yang menolak pengaruh Nazisme atas gereja Jerman dan menegaskan bahwa: "Yesus Kristus, seperti yang dinyatakan dalam Alkitab, adalah satu-satunya Firman Allah yang harus kita dengar dan ikuti dalam kehidupan dan kematian." Dengan demikian, gereja dipanggil untuk melawan penyembahan berhala terhadap negara dan menyuarakan keadilan ilahi, bukan tunduk pada kekuasaan duniawi.
Teologi Politik Barth Suara Profetik, Bukan Legitimatif
Karl Barth menawarkan visi teologi politik yang kritis dan profetik, bukan normatif atau apologetik terhadap kekuasaan. Ia menolak menjadikan Tuhan sebagai alat negara, dan sebaliknya menegaskan bahwa Tuhanlah yang harus menilai dan membatasi semua bentuk kekuasaan duniawi.
Post a Comment for "Karl Barth dan Teologi Politik: Tuhan di Atas Segala Kuasa - Nerapost"