Mengungkap Kebenaran: Pembelajaran dari Dekalog Perintah Ke-VIII tentang Saksi Dusta – Nerapost.eu.org
(Dokpri)
Oleh: Aldi Jemadut
Dekalog
artinya “Sepuluh Sabda” yang juga dikenal sebagai Sepuluh Perintah Allah. Musa
menuliskan Sepuluh Sabda itu ke dalam loh batu yang kemudian di simpan dan dihormati dalam Tabut
Perjanjian. Allah yang diakui sebagai penyelamat, ingin agar rahmat keselamatan
dijaga dalam umat-Nya. Tanpa rahmat keselamatan itu, umat akan tercerai berai
dan mengalami kehancuran. Allah memberikan dekalog kepada Musa agar menjadi
pegangan dalam menjaga rahmat keselamatan bagi umat Israel. Jangan mengucapkan
saksi dusta merupakan suatu perintah yang sangat urgen dalam kehidupan manusia.
Saksi yang dihadirkan dalam pengadilan haruslah mengandung unsur kebenaran yang
hakiki. Hal ini menyangkut hidup mati seseorang. Pada perintah ini, Allah mau
menyampaikan bahwa seorang saksi haruslah memberikan kesaksian berdasarkan
kesaksian yang sesungguhnya. Firman ini juga mau menegaskan panggilan setiap
orang Kristiani dan setiap orang yang berkehendak baik untuk hidup dalam
kebenaran, menjadi saksi kebenaran, karena kebenaranlah yang akan memerdekakan
(bdk. Yoh 8:32).[1]
a. Jangan Bersaksi Dusta dalam Terang Perjanjian Lama: Ulangan
5:20 dan Keluaran 20:16
Pada kitab Ulangan 5:20 dijelaskan
bahwa: “Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu”. Jaman dulu pengadilan
tradisional sudah ada pada zaman Israel. Jika seseorang yang diadili memiliki
saksi, saksi itulah yang menjadi kunci penting dari setiap pengadilan, karena
dari keterangan saksi bisa meringankan putusan hakim atau juga memberatkan
putusan hakim. Itu sebabnya
seorang saksi harus memberikan keterangan yang sesuai dengan faktanya. Itu
sebabnya mengapa Tuhan mengajarkan perintah kepada orang Israel supaya mereka
berkata “ya jika ya, dan tidak jika tidak”. Sebagai suatu bukti untuk tidak
mengucapkan saksi dusta tentang sesama.[2]
Istilah “saksi
dusta” berasal dari lingkungan pengadilan dan hukum. Di Israel kuno,
tiap-tiap wilayah merupakan rumpun hukum sendiri.
Kebenaran dan keadilan dibuktikan dalam perdebatan para
saksi dan ditetapkan oleh musyawarah pengadilan. Orang bersaksi dusta, jika
sebagai anggota musyawarah dengan kata-kata atau kelakuan yang tidak jujur
mengacau kepastian hukum dan kerukunan suku. Larangan untuk bersaksi dusta
melindungi kepastian hukum dan keamanan sosial.[3]
Rumus menggantikan kata “saksi dusta” dengan kata “saksi palsu”, yang dapat
berarti juga “omong kosong”. Kiranya mengaitkan kasaksian orang dengan
kasaksian Yahwe, sedangkan kesaksian Allah selalu berbobot dan sungguh
menjamin kemantapan, kesaksian manusia sering kosong, menggoncangkan tata
keadilan dan mencerminkan nama Yahwe. Nama Yahwe yang kudus dijadikan sebagai
alat untuk meligitimasi kekuasaaan dan untuk memperkuat sumpah yang diucapkan. Dengan
demikian, larangan untuk bersaksi dusta berhubung erat pada sikap saksi yang tidak jujur.[4]
b. Maksud Awal
Larangan untuk bersaksi dusta erat
kaitannya dengan persidangan perkara di pengadilan. Pada teks Keluaran 20:16, saksi dusta merupakan terjemahan dari
kata bahasa Ibrani: “Syaker” yang artinya dusta–ada unsur
kesengajaan, tahu bahwa itu salah, sedangkan dalam teks Ulangan 5:20, saksi dusta mengacu pada larangan untuk
bersaksi palsu, yang merupakan terjemahan dari kata Ibrani: “Syave”.[5] Pengadilan di Israel Kuno berbeda sekali dengan tata
pengadilan di negara modern. Belum ada sistem khusus untuk menjamin keadilan,
belum ada dewan yang menyusun perundangan, dan lain sebagainya. Semua anggota
merdeka dari suatu suku (yakni mereka yang memiliki tanah dan menduduki tanah)
berkumpul di tempat umum, yaitu “pada pintu gerbang”, untuk mengatur yang
perlu, untuk menyelesaikan konflik atau untuk mengusut kejahatan.[6]
Pada proses pengadilan tersebut keberadaan orang saksi sangat
menentukan nama baik dan hidup seseorang yang dituduh bersalah.
Nyawa, nama baik dan milik seorang dapat bergantung pada
tuduhan dua saksi yang berdusta. Tidak heran bahwa dalam Mazmur 27:12, seorang yang merasa terdesak berkeluh kepada Tuhan,
“Janganlah menyerahkan aku kepada nafsu lawanku, sebab telah bangkit menyerang
aku saksi dusta, dan orang-orang yang bernafaskan kelaliman.” Mazmur 69 dan 109
mohon perlindungan Tuhan terhadap yang memfitnah di “pintu gerbang”. Artinya
bahwa kesaksian seseorang menyangkut hidup mati nyawa seseorang.[7]
Jadi, tujuan awal dari firman ini adalah melindungi orang dari tuduhan palsu
yang berdampak negatif, merusak nama baik atau bahkan lebih jauh demi
menentukan hidup matinya seseorang.
Dalam perkara
pengadilan, peran seorang saksi menjadi sangat penting. Karena itu seorang
saksi harus memberikan argumennya sesuai dengan apa adanya atau sesuai dengan
fakta. Menjadi saksi berati ikut dalam usaha mengatur hidup bersama dengan
adil. Menjadi saksi berarti ikut menjamin tata keadilan. Sebaliknya, menjadi
saksi palsu tidak terbatas pada memberi kesaksian yang tidak tepat. Menjadi
saksi palsu mencakup semua tindakan yang menyelewengkan keadilan. Menjadi saksi
dusta berarti bersikap asosiasi dan tidak mau memberi bantuan hukum yang
seharusnya diberikan.[8]
Kesaksian palsu mengenai hal yang besar biasanya menyangkut hidup mati orang
yang dituduh. Dengan demikian, perintah ini juga memiliki kaitan dengan
perintah ke-V yaitu ‘jangan membunuh’. Karena itu, setiap kata yang dikeluarkan
dari mulut seseorang, bukan hanya berkaitan dengan tata pengadilan tetapi juga
menyangkut hidup mati seseorang.
Untuk itu
secara positif firman jangan bersaksi dusta tentang sesamamu,
sebenarnya mau mengajak orang
untuk membela kebenaran atau selalu menyatakan kebenaran demi menyelamatkan orang
yang tidak bersalah dari tuduhan palsu yang tidak benar. Memberi
kesaksian berarti memberi
keterangan dan penegasan
atas apa yang telah terjadi.
Seorang saksi adalah orang yang sungguh turut
menyaksikan suatu tindak
kejahatan. Maka seorang saksi yang benar dan jujur akan mendukung proses pengadilan yang adil. Untuk menjamin hal tersebut, saksi dusta diancam dengan
hukuman berat, kalau ia terbukti mengucapkan kesaksian palsu maka, ia dihukum
dengan hukuman yang sebenarnya harus ditanggung oleh orang yang bersalah.
Hal itu perlu,
sebab kalau orang tidak berkata benar di muka pengadilan, maka akan sangat
berbahaya. Karena itu dalam Kitab Suci kita, berulang-ulang kali membaca
peringatan kepada umat Allah untuk menjauhkan diri dari “penipuan” dan dari
segala macam sumpah palsu” (Maz. 24). Dan karena itulah pula sebabnya Allah sendiri -
untuk keselamatan bangsa-bangsa di dunia - memerintahkan Israel untuk menjadi
saksi-Nya yang benar di muka “pengadilan” mereka (bdk. Yes 49:9-13 dan 44:6-8).[9]
Dengan
demikian firman ini mau menjamin keadilan di hadapan pengadilan, menjamin
proses pengadilan yang bersih, jujur dan benar, dengan tidak mengucapkan saksi palsu demi menegakkan
kepastian hukum, sehingga orang tidak main-main dengan kebenaran. Kebenaran Allah menjadi motivasi untuk menegakan keadilan
dalam umat, sebab kebenaran itu lebih daripada hanya objektivitas.
Yahwe adalah
Allah yang setia, dengan tiada kecurangan, adil dan benar Dia (Ul 32,4). Dalam
perjanjian umat terikat dengan Allah yang benar itu: “berkatalah benar seorang
kepada yang lain, dan laksanakanlah hukum yang benar, yang mendatangkan damai
di pintu-pintu gerbangmu.[10]
Karena itu, Yesus sendiri mengatakan kalau “ya katakan ya, kalau tidak katakan tidak”, selebihnya berasal dari si jahat. Dengan keras, para
nabi mencela mereka yang membelokan keadilan: para pemimpinmu adalah
pemberontak dan bersekongkol dengan pencuri. Semuanya suka menerima suap dan
mengejar sogok. Mereka tidak membela hak anak-anak serta orang miskin.
Akibatnya,
orang miskin yang tidak memiliki uang
sering kali menjadi korban.
Menyikapi hal ini, Nabi Yesaya menulis: “Celakalah mereka
yang membenarkan orang fasik karena suap, yang memungkiri hak orang benar” (Yes 5:22-23). Nabi Amos mengecam orang-orang yang
memperkaya diri pada kesempatan pengadilan: “Dosamu berjumlah besar, hai kamu
yang menjadikan orang benar terjepit, yang menerima uang suap, dan
mengesampingkan orang miskin di pintu gerbang” (Amos 5:12). Dan semua usaha
untuk menegakan keadilan itu mendapat tempatnya dalam keyakinan iman:
“Dalam mengadili janganlah pandang
bulu, sebab pengadilan adalah hak Allah” (Ul 1:17).[11]
c.
Perkembangan
Selanjutnya Berkaitan Dengan Firman Jangan Bersaksi Dusta
Dalam pemahaman
selanjutnya, firman ini
tidak hanya terbatas pada perkara pengadilan yang harus dilakukan secara benar
dan adil, tetapi juga menunjuk pada ajakan untuk hidup dalam kebenaran. Salah satu dari unsur-unsur utama dalam hubungan manusia
yang baik adalah kebenaran, karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar
seseorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota” (Ef 4:25).[12]
Hidup
dalam kebenaran adalah konsekuensi dari iman kepada Allah, yang adalah sumber segala kebenaran, bahkan
kebenaran tertinggi. Kadang
orang berseru kepada Yahwe sebagai saksi yang dalam
perkara yang penting. Dengan cara yang demikian kesaksian orang dalam
pengadilan dibubuhi dengan sumpah. Tidak mengherankan, bahwa “jangan bersaksi dusta tentang
sesamamu” lama-kelamaan hampir sama dengan “jangan bersumpah demi dusta” (bdk. Yer 7:9) atau “jangan bersumpah
palsu” (bdk. Mat 5:33).
Pernyataan
palsu yang dibubuhi dengan sumpah membuat “kosong” nama Yahwe. Dengan kasaksian
palsu dan sumpah palsu, tata hidup bersama digoncangkan sedalam-dalamnya dan
dengan sumpah palsu dipermainkan kebenaran serta ketulusan Yahwe.[13]
Dengan demikian, memberikan kasaksian harus didasarkan pada kebenaran yang
sesungguhnya. Di satu sisi, mengucapkan kesaksian palsu adalah
dilarang berdasarkan perintah dalam dekalog ini. Di sisi lain
menurut tradisi Yahudi, berdusta atau berbohong secara umum dalam keadaan
tertentu dianggap "dapat diperbolehkan atau bahkan patut dihargai"
apabila merupakan suatu 'kebohongan putih' dan tidak dilakukan di bawah
sumpah, serta dianggap tidak "berbahaya bagi orang lain".
Perintah yang melarang kesaksian palsu ini dipandang sebagai suatu
konsekuensi alami dari perintah "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri". Rumusan moral ini berasal dari perintah kepada "bangsa
kudus" untuk menjadi saksi bagi Tuhan mereka. Pelanggaran terhadap
kebenaran melalui perkataan ataupun perbuatan merupakan suatu penolakan
terhadap kejujuran moral, sehingga merupakan ketidaksetiaan mendasar terhadap
Allah dan dalam pengertian ini berarti perusakan dasar-dasar perjanjian dengan
Allah. Kristus sendiri menampilkan diri-Nya
sebagai kebenaran, menampilkan anugerah Roh-Nya sebagai Roh kebenaran (Yoh 14:17)
yang membimbing para murid
kepada kebenaran. Yesus berkata,
“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada
Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:6). Di sini, Yesus menyatakan diri-Nya
sebagai penjelamaan dari kebenaran Allah.
Allah yang
adalah sumber segala kebenaran, telah menyatakan kebenaran ini melalui Kristus.
Penggunaan yang paling umum dari kata kebenaran adalah sebagai
kenyataan-kenyataan. Menyajikan kenyataan-kenyataan yang benar adalah lawan
dari dusta. Paulus berkata, “Aku mengatakan kebenaran dalam Kristus, aku tidak
berdusta. Suara hatiku turut bersaksi dalam Roh Kudus” (Rm 9:1). Di sini,
Paulus menyebut hati nuraninya dan Roh Kudus sebagai saksi-saksi bahwa ia
mengatakan kebenaran.[14]
Dalam Alkitab, Allah mengutuk hal berdusta dalam segala bentuknya. “lidah
dusta” dan “seorang saksi yang menyembur-nyemburkan kebohongan” didaftar
sebagai hal-hal yang menjadi kebencian-Nya (Ams 6: 16-19).
Tetapi berdusta terjadi begitu mudah, terutama bila
berbicara benar. Manusia mudah menyelubungi kebenaran dengan mengubahnya
sedikit saja agar sesuai dengan keinginan-keinginannya. Manusia jatuh ke dalam kebiasaan berdusta kepada Allah, berdusta kepada teman-taman,
berdusta kepada kawan-kawan sekerja, dan bahkan berdusta kepada diri sendiri.[15]
Dalam
realitas sehari-hari, ketidakberanian orang untuk mengatakan kebenaran sering
kali dikondisikan oleh faktor-faktor keamanan. Orang yang lantang atau getol dalam menyuarakan kebenaran dan keadilan
biasanya tidak bisa bertahan lama dalam jabatan atau tugas yang
dipercayakan kepadanya. Sikap yang mendiamkan kejahatan dan ketidakadilan demi
kenyamanan diri sendiri merupakan
sikap yang salah dan berdosa. Dalam budaya manapun setiap orang
kristiani mesti berani mengungkapkan apa yang benar dan menyatakan
perbuatan-perbuatan yang salah.
d. Pelanggaran Terhadap Firman
Jangan Bersaksi Dusta
Pada perintah
ini mengajari kepada kita untuk tidak menyakiti hati
sesama melalui perkataan yang buruk. Kita diajak untuk menghargai martabat
setiap orang sebagai citra Allah dan ciptaan yang dikasihi-Nya. Jangan pernah
kita menfitnah, membicarakan buruk, berbohong, apalagi memberi kesaksian palsu
tentang sesama. Sayangilah semua
orang yang kita jumpai setiap hari, sebab dengan
menyayangi,
kita tidak akan tergoda untuk menyakiti
siapa pun. Ketika kita
memberi kesaksian palsu tentang orang lain, kita akan mendapat catatan buruk di
mata Allah. Perintah ini menuntut penyampaian keadaan yang sebenarnya dan
penghormatan nama baik orang lain, sekalipun orang tersebut telah meninggal
dunia. Berikut dicantumkan daftar pelanggaran terhadap perintah ini:
Ø Saksi
dusta dan sumpah palsu: pernyataan-pernyataan yang dibuat di hadapan publik di
dalam pengadilan yang menghalangi keadilan dengan mengutuk orang yang tidak bersalah
atau mendukung orang yang bersalah, ataupun yang dapat memperberat hukuman
tertuduh atau terdakwa.
Ø Penilaian
yang gegabah: tanpa bukti yang memadai meyakini bahwa orang lain telah
melakukan kesalahan moral.
Ø Umpatan:
mengungkapkan kesalahan orang lain tanpa alasan yang valid, yang tanpa
kebenaran yang mutlak.
Ø Fitnah
atau pencemaran nama: berbohong untuk merugikan reputasi seseorang dan membuka
peluang bagi orang lain untuk membuat penilaian yang salah Bual, mulut besar,
atau cemooh: perkataan yang semata-mata memegahkan diri ataupun meremehkan
orang lain.
Ø Berbohong: mengeluarkan kata-kata atau agrumen yang tidak
sesuai dengan fakta.
Ø Gosip: membicarakan nama orang lain secara diam-diam.
Firman
jangan bersaksi dusta dimaksudkan untuk menjamin kebenaran dan keadilan dalam
proses pengadilan, sehingga hak orang kecil dan lemah tidak dikorbankan. Di
samping itu, firman ini mau menegaskan bahwa tata hidup bersama dapat
diupayakan hanya jika kepercayaan yang menjadi dasar hidup bersama tidak
dirusak. Karena itu,
kejujuran perlu menjadi keutamaan dalam beriman. Agar menjadi keutamaan moral
kejujuran perlu dipupuk sebagai kebijaksanaan. Jujur itu mendengarkan suara
hati yang mau melindungi martabat kita sebagai manusia, sebagai citra Allah. Janganlah kita saling merugikan orang lain
dengan memberikan kasaksian palsu demi tujuan tertentu. Apa yang benar
hendaklah kita katakan benar dan apa yang salah hendaklah kita katakan salah.
Oleh karena itu, marilah menjauhi penipuan dan berlaku jujur seorang terhadap
yang lain, karena hanya Allahlah yang berhak untuk menghakimi manusia.
[1]Paskalis Lina, Moral Dekalog (Bahan Kuliah Pilihan
Sekolah Tinggi Filsafat Katolik, Ledalero, 2021), hlm. 2
[2]Jong Henokh “Tafsir Kitab Ulangan 5”
Acamedia <https://www.academia.edu/10218266/Tafsir_Kitab_Ulangan_5. html>,
diakses pada 10 Februari 2020.
[3]Dr.
Bernhard Kieser SJ, Moral Dasar: kaitan
Iman Dan Perbuatan (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 175.
[4]Ibid.
[5]Paskalis
Lina, op. cit., hlm. 59.
[6]Dr.
Bernhard Kieser SJ, Paguyuban Manusia
Dengan Dasar Firman (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 106.
[7]J.
Kiswara SJ, Dasar Firman Allah, Makna dan
Penerapannya (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 92-93.
[8]Dr.
Bernhard Kieser SJ, loc. cit.
[9]Dr. J.L.CH.
Abineno, Sepuluh Firman (Bacaan Ketekese untuk Gereja
Protestan Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, TP), hlm. 58.
[10]Dr.
Bernhard Kieser SJ, op. cit., hlm.
108.
[11]Ibid.
[12]Jerry
White, Kejujuran, Moral dan Hati Nurani (Jakarta:
PT. BPK Gunung Mulia, 1987), hlm. 38.
[13]Dr.
Bernhard Kieser SJ, loc. cit.
[14]Jerry
White, op.cit., hlm. 37.
[15]Ibid.
Post a Comment for "Mengungkap Kebenaran: Pembelajaran dari Dekalog Perintah Ke-VIII tentang Saksi Dusta – Nerapost.eu.org"