Kepada Malam Aku Titipkan Luka || Puisi Bona Sampurna
(Dokpri Bona Sampurna)
Kulihat malam ditudungi purnama merah darah.
Kesunyian semesta tak sempat kujadikan makna.
Aku masih terpekur dalam rumpil rumitnya siasat
batin.
"Seharusnya awan tidak perlu hadir mengaburkan
bias-bias rembulan merah bata.
Seperti juga kelabu pekat tak seharusnya kurangkul setiap waktu."
(Baca
juga: Tingkatkan Kapasitas Diri, Fand Wasa Terjun ke Dunia Blog)
Seniman memuji keindahan termasuk dosa di lubuk hati
pencari Tuhan.
Pelukis tiada kehabisan warna melemparkan purnama di
atas kanvasnya lalu berlari mengejar sang kekasih sambil berkata: "Telah kuterbitkan
purnama baru untukmu. marilah! Di atas kanvas kuredupkan cahayanya sebab engkau
adalah purnama abadiku."
(Baca juga: Magang di Media Indonesia dan Metro TV; Tantangan dan Peluang)
1/4 abad lamanya sang peziarah mengembara mencari kata.
Ia mulai bertanya tentang kata itu ketika guru ngaji
membacakannya di hadapanya.
Ia tertegun.
Ia menyimak.
Ia jatuh hati pada kata itu.
Hingga kini kata itu masih misteri bagai purnama
tanpa rembulan.
Ia tersembunyi di balik hati yang terluka, wajah
yang sayu tanpa harapan, suara rintih
si kecil di pulau keterasingan.
"Aku mau hidup seribu tahun lagi", kata binatang
jalang.
Post a Comment for "Kepada Malam Aku Titipkan Luka || Puisi Bona Sampurna"