Pintu || Cerpen Ama Kolle
(Sumber gambar: www.1stdibs.com)
“Mau kembali sebagai apa?
Tapi tidak pada rumah yang tak berpintu.”
Jejak
pergi telah membuat seorang rindunya berkobar-kobar untuk beristirahat dalam
rumah di mana ia merasa utuh. Jejak pergi terkadang membawa penyesalan, seandainya
waktu bisa diulang kembali. Jejak pergi membuat seorang mengutuk seluruh hidup
dan pilihan yang telah ia buat di waktu lalu. Rumah di mana ia dibiarkan pergi
dengan pintu yang terbuka, akankah tetap terbuka menyambut kedatangan dengan
sebuah kegagalan. Ketakutan. Hidup adalah ketakutan. Takut tak diterima, takut
mengecewakan, takut membuka kebenaran, takut terlihat baik-baik saja dan takut.
Malam
pun memberi ketakutan. Di sana di pojok kamar kecil itu, entah tubuhnya masih
bernyawa atau ia mati dalam ketakutannya. Sebab banyak yang datang mengatakan
rasa cinta tapi cinta yang egois, cinta yang hanya menuntutnya untuk mengerti
dan mengalah. Ia merasa tubuhnya tak lagi miliknya, sebab dia sedang
menghidupkan tubuh yang berjalan tapi diseret dan diikat. Ia selalu berharap
malam dapat membuatnya tidur dan tak ingin menatap pagi lagi.
(Baca
juga: Gagal Cita-cita Punya Pacar Pemain Sepak Bola || Cerpen Adriani Miming)
Dia
diam mengutuk dirinya yang selalu mengalah. Berulang sudah sebatang rokok dan
secangkir kopi merampas kantuknya dan tak ingin ia tertidur melupakan
ketakutannya. Sesekali ia menjerit sakit dan meminum beberapa Pil obat. Kali
ini ia masih duduk dan mencoba menutup sepasang matanya dengan paksa. Beginilah
sepenggal puisi yang terucap dengan air mata.
“Pintu.
Akankah pergi pada pintu yang tidak
membuatku bahagia?
Akankah keluar dari pintu tempat
kebahagiaan mereka?
Akankah akan pulang pada pintu
dengan sebuah kegagalan?
Aku ingin hilang tanpa pintu pergi
atau pintu pulang.
(Baca
juga: Dilamar Belum Tentu Dinikahi || Cerpen CAJ)
Ia
menyeka lagi dan lagi air dari matanya, entah sudah berapa kali ia melakukan
itu. Kegagalannya akan membuat satu persatu pintu tertutup. Sebab tiada cinta
yang tanpa balasan. Tiada cinta yang tidak egois. Apakah berbakti harus dengan
mewujudkan apa yang mereka mau? Air mata dan air mata. Datangmu begitu ringan
tanpa peduli sejauh mana dan sekuat apa tubuhnya. Mengutuk berulang-ulang,
takut menerpa tumbuh dalam tubuh. Apakah akan ada pintu yang tulus menyapanya: “Entah apa pun pilihanmu dan di sanalah
bahagiamu, maka bukalah pintu itu untuk bahagiamu!” Seketika ia tersenyum
dan lagi-lagi kenapa harus ada air mata yang menyadarkan ia sudah terlalu jauh
berimajinasi.
Seandainya.
Ya seandainya pintu dari mana ia pergi tetap menyambutnya dengan apa pun
pilihannya. Ya seandainya dia, seandainya aku, seandainya kamu, seandainya
kita, seandainya mereka. Dan masih seandainya dengan ketakutan bahkan bahagia
pun masih seandainya dengan takut. Padahal, jika kau sendiri tidak bahagia, kau
tidak akan bisa membahagiakan orang lain.
“Pergilah dan kembalilah pada pintu
yang mampu menerimamu dengan apa pun pilihanmu. Hilanglah dari pintu yang
tertutup dengan apa pun pilihanmu. Atau pergilah tanpa pintu dan datang tanpa
pintu.”
Post a Comment for "Pintu || Cerpen Ama Kolle"