Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Diam Itu Luka || Cerpen Adryan Naja

Diam Itu Luka || Cerpen Adryan Naja

(Sumber gambar: health.kompas.com)

Sintia duduk sendiri di ruangan kelas itu. Mukanya pucat dan lemah lesu. Dia kelihatan takut dan gugup untuk menjalani hari ini. Hari ini wajahnya sangat berbeda jauh dari hari-hari sebelumnya. Tampaknya dia sedang mengalami situasi buruk. Hampir beberapa menit dia memilih sendiri dan menyendiri. Dia tertunduk sambil menatap ke tanah. Air matanya menetes dan tercecer di belahan pipinya. Entah apa dan mengapa Sintia menjadi bagian dari kenyataan buruk yang telah diramalkan selama ini. Bahwa di antara waktu dan peristiwa terletaklah duka dan derita. “Kebanyakan perempuan lebih memilih jatuh air mata, diam dan terpendam menahan rasa sakit, dari pada mengobati luka dengan memberontak dan berbicara. Berontak yang paling sakit adalah ketika diam dan mengalah”.

Hampir dua jam Sintia menanggung beban dan derita dalam diam. Mungkin saja Sintia membiarkan diri tersiksa oleh rasa bersalah dan menyesal atas peristiwa yang terjadi pada dirinya. Sementara itu, Aldin adalah teman curhatnya (yang selalu siap mendengar apa saja yang diceritakan Sintia) datang menghampirinya. Aldin selalu hadir dalam kekosongan dan kesendirian Sintia. Bukan hanya itu, Sintia selalu percaya pada Aldin untuk mengungkapkan segala isi hatinya, segala keluh kesahnya, bahkan di setiap persoalan hidupnya Aldin dijadikan tempat teduh yang paling nyaman untuk menyelesaikan masalahnya. Aldin datang mendekatinya.

 

(Baca juga: Mery dan Seorang Frater Kekasihnya || Cerpen Christin De Simnia)


Hi Tia, kamu kenapa?

Kok mukamu pucat dan lemah lesu. Tanya Aldin.

Sintia tidak menjawab sedikit pun.

Tia, kenapa kamu diam saja. Kamu lagi galau!!! Aldin melanjutkan pertanyaannya.

 Aku tak apa-apa koh,,,, jawab Sintia.

 Tapi, kamu kelihatannya sedih dan lemah lesu, Tia. Kamu sakit??? Tanya lanjut  dari Aldin.

Tidak,,,, aku hanya ingin sendiri hari ini.

 Aldin mencoba membujuk Sintia agar dia bisa mengungkapkan apa yang sedang terjadi padanya. Tapi, Sintia lebih memilih diam dan terpendam.

Terkadang wanita lebih suka menyembunyikan kebenaran dan melemparkannya ke dalam kata pura-pura baik-baik saja, dari pada mengatakan sejujurnya, kebohongan telah dipilihiya untuk menyembunyikan kebenaran. Ah,,, wanita berbicaralah!!! Mengapa harus kau diamkan dukamu?

 

(Baca juga: Hampa Dapur Ibu || Puisi Ani Taur)




Sintia kembali merenung dan duduk melongo ditemani kesepian dan beban yang tak terselesaikan. Barangkali dia sedang takut dan cemas akan apa yang akan terjadi selanjutnya dari kejadian yang menimpanya. Pikirannya dipenuhi sejuta pertanyaan dan rasa cemas. Hatinya berdebar kencang. Apakah takdir Tuhan menimpa hidupku? Pintanya dalam hati. Aku tak mau berpasrah pada kenyataan ini! Serunya dengan nada sedikit keras. Tapi, aku tidak bisa memastikan kapan rasa takut dan khawatir ini hilang dari hatiku. Aku tak bisa pergi melupakan peristiwa aneh ini tanpa harus melenyapkannya. Atau  aku harus menguburkan jenazah impianku dengan membunuh diriku. Tuhan, aku sudah sampai pada titik pertanyaan berat dan membutuhkan jawaban yang melegakan hati ini. Aku mohon,,, aku mohon berilah satu jawaban singkat untuk mengubah sejarah terburuk ini. Sebab, setiap situasi buruk dalam hidup, ada “keharusan” yang mesti dimiliki. Kedamaian dan ketenangan batin sangat dibutuhkan di saat seseorang terkutuk dengan beban dan bersalah. Namun, ada saatnya ketika hidup ini hanyalah bayangan dari kesia-siaan belaka.

Tak ada satu pun yang mampu mengubah suasana hati Sintia. Aldin yang selama ini dipercayainya sebagai sahabat sejati tidak lagi menaruh kepercayaan sedikit pun. Barangkali ada saat tertentu dalam hidup seseorang yang tidak harus ditempati oleh orang lain. Ada rahasia yang tidak tersedia untuk diketahui oleh orang lain.

 

(Baca juga: Pacar Kontrak di Tempat KKN || Cerpen BD)

 

Ingatan Sintia masih dicambuk oleh wajah laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Sandra adalah pacar yang telah menumbuhkan rasa jengkel Sintia. Sebab, beberapa bulan lalu Sintia dipaksanya melakukan hubungan suami istri. Rayuan Sandra membuat Sintia terbaring di atas ranjang kenikmatan. Sintia kehilangan kontrol diri, dan membiarkan dirinya ditiduri oleh hasrat yang membelenggu nalar kritisnya. Suasana hening malam itu seakan menyalibkan hari-hari bahagia Sintia. Berduaan di kamar Kos sudah menjadi bagian dari keinginan saat berpacaran. Berpacaran tanpa menyentuh saat sepi bagaikan pelangi yang salah lahir.

Cinta selalu membutuhkan pemberian dan penyerahan diri. Benar. Tapi, bukankah lebih berat jika cinta meminta penyerahan diri dan tidak bertanggung jawab atas penyerahannya? Sintia bernasib sial. Memberi diri kepada laki-laki yang tidak bertanggung jawab atas perbuatan bejatnya adalah kesalahan terbesar  yang sengaja dipilihnya.  Sebab, ada banyak laki-laki yang hadir dalam hidup seorang wanita hanya sekedar memenuhi hasrat seksual mereka. Berhati-hatilah dalam kesenanganmu, sebab kecelakaan terbesar dalam hidup selalu muncul dari kegembiraan yang berpura-pura akrab dengan kebaikan.

Sekarang Sintia sangat menyesal atas kecelakaan yang melibatkan masa depannya hancur. Sintia seorang mahasiswi semester 4 itu harus menanggung beban dan rasa malu yang tak tersembuhkan. Malu dengan teman-temannya dan dengan keluarganya di kampung. Puteri pertama dalam keluarganya tidak bisa memberikan contoh untuk kedua adiknya yang masih SMA dan SMP. Sintia merasa sangat bersalah dan menyesal. Kedua orang tuanya petani yang tiap hari membanting tulang di kebun.

 

(Baca juga: Berkali-kali Ditolak Frater, Sophie: Lebih Baik Menabrak Matahari dan Memeluk Dingin)




Pikiran Sintia dipenuhi sejuta kenangan dan harapan buruk. Melangkah ke depan, di depan telah disediakan pisau yang memotong masa kuliahnya. Karena anak dalam kandungannya yang membuat Sintia melihat masa depannya hilang ditelan kenikmatan semata dalam satu malam. Mau mundur kembali, waktu bukan cetusan dari setiap keinginan manusia. Sintia malu dan minder, bahkan rasa takutnya memuncak pada saat Sintia ingin menggugurkan janin dalam rahimnya. Aku tak ingin ayah dan ibuku tahu keadaanku di sini. Pintanya dalam hatinya. Aku menyesal sekali, mengapa aku berada pada kebodohan di saat kesenangan menyediakan jalan sengsara di seluruh waktu hidupku. Aku tak bisa memberikan contoh kepada kedua adikku. Apalagi aku datang dari kampung terpencil, ayah dan ibuku mempercayai aku untuk kuliah. Tapi, aku di sini hanya bermain-main dengan kegagalan. Sintia merasa bersalah dan menyesal atas kejadian malam itu. Kesedihan paling tragis dalam hidup seseorang adalah  ketika harapannya hancur dihantam kegagalan. Sebab, tidak ada jalan lain yang harus diambil dalam kehancuran, kecuali memulai hal yang baru.

Sintia menangis dan menangis di ruangan kelas kuliahnya itu. Penyesalan datang membawa rasa bersalah pada Sintia. Tidak ada satu pun yang datang menghampiri Sintia. Aldin yang dulunya adalah sahabat sejatinya kini pergi meninggalkan Sintia sendiri. Aldin pergi bukan karena tidak mau menemani Sintia, tapi dia sadar bahwa seseorang harus mampu berdiri sendiri di tengah kesepian. Apalagi Sintia tidak mau dihibur. Suasana hening di ruangan kelas itu pun menambah berat penyesalan Sintia. Sintia merasa seorang diri. Dia menatap ke sana sini, namun tak ada satu pun orang di sekitarnya. Adapun mereka yang selama ini selalu dekat denganku, tapi sekarang mereka telah pergi jauh dariku. Pinta Sintia dalam hatinya.

 

(Baca juga: Setelah Sidang Skripsi, Sophie: “Frater, Tetap Langgeng dengan Panggilanmu ya!”

 

Ada banyak orang yang datang dalam hidup seseorang, tapi mereka adalah bagian dari permainan rasa sakit yang pergi tanpa pamit.  Mereka sering kali jujur dan ikhlas, tapi mereka tidak setia dalam menemani. Rasa sakit paling besar datang dari orang yang pernah dianggap istimewa, lalu berpaling, memilih pergi bersama sepucuk surat bertulis, “ada saatnya ketika kita tidak harus bersama”. Inilah bukti bahwa ternyata ada saatnya kita seseorang harus menyerahkan dirinya kepada fakta bahwa menjadi diri sendiri dan berada sendirian lebih nyaman dari pada menerima kedatangan eksistensi yang lain dengan cara yang jujur. Sebab, kesedihan itu adalah kesialan yang lahir dari keyakinan yang tidak terjadi. Tidak ada satu pun orang yang luka disembuhkan dengan kata bersabarlah, sebab itu akan membuatnya lebih mudah menjadi pembenci dari pada menerimanya dengan ikhlas.

Sandra sekarang tidak ada kabar sedikit pun padaku. Di sini aku menantikan kehadirannya, agar Kecemasan dan ketakutanku berubah seturut cinta yang pernah membuatku bahagia. Namun, sekarang telah menjadi luka. Dia hilang kabar. Entah di mana, aku tak tahu. Tidak ada jalan lain lagi untuk keluar dari kamar duka ini. Masa lalu dan masa depan telah melenyapkan ribuan kebahagiaan waktu ini. Aku terlempar ke tebing pasrah, aku harus menguburkan diriku dalam kematian. Inilah pilihan terakhir dan terbaik ketika menjadi manusia lemah. 

Aku tak kuat lagi menahan beban duka ini. Bunuh diri adalah hak bebasku dalam menyelesaikan segala persoalan hidup ini. Aku harus melakukannya sekarang, sebelum orang lain datang memanggilku dengan tertawa. Aku ingin mereka menyesal seperti diriku bahwa kehilangan seseorang adalah kesedihan yang paling tidak pernah diterima sepanjang hidup seseorang. (Sintia berbicara dalam heningnya siang itu). Sintia melihat seutas tali, lalu mengikat lehernya di balok kelas itu. Kematian telah membawa pulang dan damai bagi Sintia. Kini dia telah pergi, entah di mana, tinggal kenangan datang melanda dan membawa penyesalan yang tak tersembuhkan.

Tak selamanya diam itu emas. Barangkali diam itu luka. Luka yang paling sadis adalah ketika diam dalam hening. Memilih diam semestinya jangan, apalagi di saat seseorang membutuhkan hiburan.

Adryan Naja, Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Post a Comment for "Diam Itu Luka || Cerpen Adryan Naja"