Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Rute Penerbangan || Cerpen No Eris

Rute Penerbangan || Cerpen No Eris

(Sumber gambar: www.istockphoto.com)


(demikian doa ibuku)

Ingat…saya tidak mau lari dari kegagalan. Sebab berbicara soal penerbangan, penerbang dipersilahkan mengadakan penerbangan lantaran ia terbang dengan penuh rela. Kamu harus mencoba terbang tanpa mesin. Pokoknya macam-macam, ada yang bersemayam di atas singgasana langit. Ada duka tanpa air mata, ada puas tanpa gelak tawa dan ada nama tanpa raga yang harus kau jamah. Demikianlah penerbangan, sebelum kaki terlepas dari pangkuan bumi dan kembali lagi ke bumi, langit tetap menjadi kekasih paling jujur yang memelukmu terlepas dari gravitasi yang terlampau ego merebutmu dari pelukan langit.

Benar bahwa penerbangan tanpa mesin mengobarkan api dari rahimmu dan merontokkan serabut dari kepalamu.

Besok hari Senin ada jadwal penerbangan Maumere-Makasar Lalu ke Sorong, syukur waktu transitnya tidak begitu lama di Makasar sehingga  mataku tidak tertuju lagi ke lorong-lorong keramat dan hidungku juga tidak sampai mencium bau amis masa laluku. Iya…dan saya harus kembali ke negeri ibuku, negeri di mana cenderawasih mengajarkanku tentang keindahan yang dipandang dari titik jauh. Tentang noken yang disimpul untuk sebuah wadah yang tak mudah rapuh dan campuran daun sirih, pinang dan kapur dengan takaran yang tak satu pun lebih mendominasi.

            Dalam detik yang pertama ketika kurang lima belas menit waktu penerbangan, suara mikrofon menyadarkanku tentang titik star yang menghantar saya pergi dari kota kenangan, ini bukan soal kemenangan dari setiap pertandingan yang sering engkau patahkan. Tapi ini soal alasan yang sering engkau simpul, berbeli-belit memang sehingga tak satu pun yang terikat di kepalaku. Kemarin lewat pesan suara kau bilang kita harus baik-baik. Dari titik terjauh saya pahami itu, sebab jiwa dan niat yang keluar dari mulutmu, tetap garis mukaku yang kau pasang di profil WhatsAppmu, saya harap ini bukan strategi tipu lawan. Pikiranku mulai ke mana-mana sebab setiap alasan mulai tak ada titik terang. Titik star pun mulai tak terbaca dari letak penerbangan dan beberapa menit lagi saya harus berada di tempat yang lain. Semoga mendarat kali ini guncangan pesawat  tidak terlalu terasa sehingga saya tidak harus mengubah air muka dari bahagia menuju cemas.

 



(Baca juga: Hampa Dapur Ibu || Puisi Ani Taur)

 

            Hari ini pertama saya berada di negeri Cenderawasih, di antara barisan ema-ema penganyam dan penjual noken namun tak satu pun yang saya kenal, hanya saja keinginanku untuk memiliki noken sudah mulai memuncak. Ini semakin berantakan, sebab perjalananku masih panjang dan saya harus beberapa kali lagi membayar ongkos kendaraan menuju tempat latihan, yakni tempat terdalam. Ini bukan jarak tempuh yang biasa. Syukur ini demi sebuah penerbangan yang menghantar saya kepada doa ibuku. Memang hanya dengan sepotong kata yang terus menerus diulang namun tak sedikit waktu dan perjuangan yang harus kutempuh. Dalam doa ibu hanya bilang “Nak terbanglah setinggi mungkin sampai ke titik tujumu.” Syukur dulu ibu tak pintar belajar matematika, kalau tidak di dalam doanya ia pasti membuat kalkulasi dan kira-kira berapa jarak menuju titik tempuh. Ini semu dan masih tak beraturan mentalku menghadapi model latihan yang saya pilih. Hari pertama latihan, saya sudah ditantang dengan model pertanyaan yang sama “Maukah engkau membuat penerbangan dan kembali dalam keadaan baik-baik saja?” dengan nada laki-laki tak tentu keyakinan entah itu keyakinan ibuku atau bapaku dengan sikap hormat saya hanya menjawab “siap, saya mau” model jawaban yang lebih kepada militer membuat saya patuh dan taat kepada semua atasan yang berada di tempat latihan. Saya kira Tuhan dari ibuku atau bapaku tidak cemburu terhadap keyakinanku yang tak tentu ini.

            Setiap hari menjadi seru, ada duka tanpa air mata, ada kebahagiaan tanpa gelak tawa dan ada nama tanpa raga yang harus kujamah. Rupanya roda penerbanganku mulai bergerak. Tapi kali ini saya harus mencoba semuanya. Dahulunya penerbangan tanpa mesin, kali ini saya harus mencoba menggunakan mesin, semoga barisan tak sampai terputus.

Dari kejauhan setiap atasan berdesak-desakan berjalan ke arahku, masing-masing tak hanya mereciki air saja melainkan membasahi kepala dan seluruh tubuhku dengan mengucapkan sepotong kata “Engkau layak membuat penerbangan, tetapi sebaiknya engkau jangan sendiri.” “Baiklah komandan, saya siap.”

            Tepat tanggal sebelas bulan ini, saya mulai membuat penerbangan sendiri. Dan rupanya ada yang melihatku dari Air Traffic Control, saya kira dia hanya menjalankan tugasnya mengatur lalu lintas udara. Tapi kali ini setelah saya mendarat ada pesan yang masuk bahwa bulan depan engkau tidak lagi membuat penerbangan sendiri. Saya mulai bingung dan mencari-cari di mana letak kesalahan sehingga ada yang harus menemani saya dalam penerbangan. Ada pula pesan susulan bahwa kalau tak ada halangan, sebentar malam temui saya di Caffe terdekat di samping penginapanmu.

 

(Baca juga: Setelah Sidang Skripsi, Sophie: “Frater, Tetap Langgeng dengan Panggilanmu ya!”

 


 

Dengan langkah setengah takut saya pun menuju arah  pesan yang masuk. Saya pun mulai duduk di meja sesuai pesanan. Ini tidak biasa sebab pelataran ditata rapi dan hampir setiap sudut diberi remang-remang dan di atas meja disiapkan dua gelas kopi dengan satunya hampir diteguk habis sebab terlalu lama ia menungguku. Bola mataku pelan-pelan terbuka, tepukan tangan semakin riuh dengan langkah kedua pasang kali menuju ruang teratas. Ini romantis, megah-meriah.  Dari titik terdekat garis alis mulai nampak dan perempuan yang bertahun-tahun memasang fotoku di profilnya kini diarak oleh laki-laki yang ketika di kantor adalah atasanku. Ini semacam apel militer yang merobek semua barisan perasaanku. Saya yang adalah laki-laki tak tentu keyakinan harus melepas semua simpul yang kau ikat di kepalaku. Kau bilang tak lama lagi kau liburan dan waktu liburan kau pakai untuk menghantar sarapan sebelum kumelepas landas, kau bilang kapan aku membawamu ke tempat pengantin lalu membelikan baju pengantin dan hat tinggi. Tetap omong kosong, kau terus tidur dengan laki-laki ini. Ini bukan mimpi dan setelah saya menampar pipi kananku, memang sakitnya minta ampun dan benar bahwa saya berada di Caffe sesuai pesan. Lalu siapa yang mengirimkanku pesan itu?

            Di meja bundar saya terus menundukkan kepala. Ini bukan soal saya menghormati atasan saya ataukah ini juga bukan tanda saya harus melihat semua roda sebelum penerbangan, ini juga bukan soal sial. Saya harus kembali ke ruangan Air Traffic Control, saya harus mencari tahu siapa yang mengirimkan pesan tersebut. Ini tidak mungkin karena tepat pukul 00:00 begini pasti kantornya sudah tutup. Tanpa air mata, tubuhku pun dingin seketika ada suara dari meja terdekat “Untuk semua pesan itu, dari saya” perempuan dengan potongan rambut hanya sampai di bahu ini sedang gila atau kelebihan alkohol, sehingga harus membuat pengakuan yang tak terduga. “Iya memang saya” desaknya lagi seakan menetralkan darah saya yang semakin memuncak. Saya pikir ini benar dan kopi sisa tegukan ini pasti miliknya. Dia mulai bergerak menuju tempatku dan mengambil cangkir dengan isi yang tak utuh lagi dan meneguk. Dia mencoba meminta maaf soal kenyataan ini. “Mulai besok saya tidak berada di ruangan air traffic control lagi, saya harus membuat penerbangan denganmu. Semua tentangmu sudah saya ketahui dan itu yang kita saksikan bersama malam ini. Ini semacam simbiosis mutualisme, di  mana kedua makhluk saling menguntungkan. Keuntungan mereka yang kita lihat malam ini adalah mereka berhasil merebut apa yang kita miliki. Komandan yang kau hormat di kantor itu, sekarang sudah  menjadi keuntungan perempuan yang pura-pura meletakan mukamu di profilnya. Ini sakit, sebab bertahun-tahun penerbangan tanpa mesin yang kau alami itu juga terjadi dalam hidup dan cinta kami. Besok ada jadwal penerbangan Sorong lalu ke Flores tanpa transit di Makasar lagi. Dan besok terakhir masa praktekmu, jadi terbanglah denganku. Kali ini kau harus pakai mesin sehingga menjaga ketinggian di sepanjang bukit besar. Kalau terlalu dekat dengan bukit besar buatlah perubahan arah atau berbelok arah.” Saya pun mulai sadar maksud doa ibuku. Inilah titik tuju yang harus kupegang. Syukur rute penerbangan besok tak menemui bukit besar, sebab saya yakin ketika transit di Makasar pasti mataku tertuju ke lorong keramat.

No Eris, mahasiswa IFTK Ledalero. Saat ini tinggal di Unit St. Agustinus, Ledalero.

Post a Comment for "Rute Penerbangan || Cerpen No Eris"