Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Setelah Putus dengan Frater, Sophie: Asal Kujamah saja Jubahnya, Aku akan Sembuh!

(Sumber gambar: www.merdeka.com)


Oleh: Melki Deni 

Kata Sophie kepada Frater mantan kekasihnya: “Asal kujamah saja jubahmu, aku akan sembuh.” Tetapi Frater berpaling dan memandang Sophie serta berkata: “Teguhkanlah hatimu, hai mantan kekasihku, pacarmu telah menyelamatkan dan akan membahagiakanmu!”

Lalu Frater berkata lagi: “Pergilah dan katakanlah kepada pacarmu, undanglah aku bila kamu dan pacarmu hendak menikah atau membaptis anakmu yang pertama!”

 

Sejak satu bulan lalu saya mengenal Frater Kador. Empat hari pertama saya cukup canggung, dan malu tersipu-sipu dengannya. Saya memilih berdiam, dan menyelesaikan beberapa pekerjaan wajib saya. Saya pekerja di pastoran ini. Saya tahu tugas saya mulai pagi sampai malam.

“Nona, salam kenal ya. Saya Frater Marsel”, lemparkan senyum sedikit, lalu duduk di kursi di ruang tamu.

“Oh. Iya Frater. Saya Sophe, karyawati di sini sejak tiga tahun lalu”, saya menjawab.

“Saya Frater Kador. Nona tidak perlu sebut nama nona, karena saya sudah dengar nama nona barusan”, kata Frater Kador.

Mereka duduk di ruang tamu sambil menonton berita di TV. Para Frater biasanya suka menonton berita dibandingkan dengan yang lain. Saya berjalan ke dapur, dan menyeduhkan kopi untuk Para Frater dan Pastor Paroki. Para Frater baru tiba malam ini.

***

Saya Sophie, mahasiswi semester 3 di sebuah Perguruan Tinggi di kota ini. Saya jatuh cinta dengan beberapa laki-laki. Tak jarang saya dipermainkan dan diperkosa atas nama cinta laki-laki. Saya tidak melawan laki-laki. Saya mudah dipengaruhi oleh permainan bahasa laki-laki, meskipun beberapa kali saya berusaha melawan tetapi tidak berhasil. Perlawanan itu sekadar membuktikan bahwa saya tidak mau diperkosa, tetapi sesungguhnya saya membutuhkan uang untuk membeli segala sesuatu yang saya perlu.


(Baca juga: Alasan Seorang Frater tidak Sulit Tinggalkan Kekasihnya – Nerapost)

Frater Aku Mencintaimu || Cerpen BD)


Orang tua saya sudah berpisah; ayah menduda, sedangkan ibu menikah lagi. Mengapa saya tidak mengemis perhatian dan pengakuan laki-laki? Saya tinggal dengan ayah saya. Mengapa saya tidak mencari uang sendiri tanpa membebankan ayah saya? Ibu tentu saja sibuk menafkahi suami, dan anak-anaknya. Saya menjual perasaan ingin diperhatikan, dihargai, dan diperlakukan sebagai manusia kepada beberapa mantan kekasih demi mendapatkan uang.

Uang mungkin menghancurkan saya. Tetapi bukankah uang justru membahagiakan, membebaskan dan meningkatkan status sosial apabila saya menggunakannya untuk membiayai kuliah saya? Saya menjual diri untuk bisa kuliah, dan akhirnya merayakan wisuda bersama sahabat-sahabat di Perguruan Tinggi. Lalu mencetak foto wisuda, dan memajang di dinding ruang tamu rumah. Foto wisuda anak tidak hanya membahagian orang tua, keluarga, tetapi juga menyegankan tamu-tamu yang datang. Dengan demikian status sosial semakin tinggi, dan harga diri pun dipulihkan kembali. Uang menyembuhkan dan memulihkan, bukan?

Saya Sophie, berhak jatuh cinta sama Frater Kador yang bertugas selama sebulan di sini. Kata Frater Marsel, teman Frater Kador, mereka bertugas untuk ada bersama dan mengalami situasi umat di paroki ini. Itu disampaikan pada momen perkenalan di dalam Gereja. Kedua Frater masih seumuran dengan saya. Saya tidak bisa menipu diri, saya jatuh cinta sama Frater Kador. Ia pandai bermain organ dan gitar.

Malam sekitar pukul 20:19, saya baru selesai mencuci piring. Dari dapur saya mendengar musik instrumen yang mengingatkan saya ketika saya jatuh cinta pertama kali dengan laki-laki yang salah. Laki-laki yang kelihatan alim, tenang, dan dingin justru memperkosa saya saat saya tidak bisa berbuat apa-apa di indekosnya yang pengap. Alih-alih menyelesaikan tugas kuliah, ternyata menghabiskan saya.

Ingatan berjalan terus: Seorang polisi muda yang mempermainkan perasaan saya. Polisi itu memperkosa saya di tepi pantai yang jauh dari kota ini. Ketika polisi melakukan itu kepada saya selama tiga empat kali, saya pun merasa biasa-biasa saja. Apalagi polisi selalu memberikan saya sejumlah uang setalah kami melakukan itu secara diam-diam. Irama instrumen itu mempercepat kerja jantung. Saya seolah-olah membenarkan dan melazimkan semua kenangan diperkosa belum lama ini.


(Baca juga: Setelah Sidang Skripsi, Sophie: “Frater, Tetap Langgeng dengan Panggilanmu ya!”)


Hari kelima Frater Kador mengungkapkan perasaan jatuh cinta sama saya. Saya langsung mengiyakannya. Saya berpikir dalam hati, andaikan Frater Kador tahu saya jatuh cinta dengan dia sejak hari perkenalan di Gereja. Belum lagi musik yang dimainkannya tiap kali Frater Kador menyelesaikan suatu pekerjaan atau malam-malam di beranda aula paroki.

Karena Frater Kador tampan, pintar main musik, dan cerdas memberi rasa nyaman―meskipun itu tidak sadar dilakukannya―tetapi tidak sedikit teman-teman OMK (Orang Muda Katolik) suka padanya. Saya cemburu dengan beberapa cewek yang pernah mengatakan mereka sangat tertarik pada Frater Kador, dan mereka akan mengungkapkan perasaan mereka, lalu mereka berpacaran, berjalan bersama Frater. Tentu saja sangat bahagia, katanya. Mereka tidak pernah menyangka Frater Kador sudah berpacaran dengan saya sejak sekitar dua Minggu lalu.

Kalau pun mereka berani mengungkapkan perasaan mereka kepada Frater Kador, saya akan memarahi mereka dan mengatakan Frater Kador itu pacar saya. Lagi pula saya dan Frater sudah melakukan skandal. Saya tahu itu sangat fatal, dan berdosa berat tentunya. Tetapi kalau kami lakukan itu atas suka sama suka, dan berkomitmen untuk menikah di kemudian hari, siapa yang berhak melarang kami?

Frater Kador pernah bilang ia akan mengundurkan diri dari biara, dan menikahkan saya. Jadi, mengapa cewek-cewek itu masih merebut suami orang? Dasar calon-calon plakor, kata saya dalam pikiran.


(Baca juga: Ibu Muda Demam Bento - Nerapost)


Tidak ada alasan Frater Kador tidak menikahkan saya. Kami telah melakukan layaknya suami istri di kamarnya, di Aula Paroki, di Sakristi, di Kamar Uskup, dan di beberapa tempat. Tiap kali kami melakukan itu, saya tidak lagi merasa bersalah dan berdosa, kecuali malam pertama di ruangnya pada jam satu dinihari. Saya ingin menolak, dan berteriak, tetapi saya tidak bisa melakukan itu. Kalau saya berteriak, Frater Kador akan dikeluarkan dari biara. Tetapi kalau pun saya berteriak, kami ditangkap basah, Frater Kador akan dipukul umat, dilaporkan ke pihak yang berwajib, dipenjara. Lalu saya menanggung malu bertahun-tahun. Belum tentu ada laki-laki yang menyukai, menikahkan, dan memperistri saya. Kami lakukan itu berkali-kali, sampai saya merasa biasa-biasa saja.

“Dua hari lagi kami pulang. Jadi Sophie tunggu saya di sini. Saya pasti datang kembali dan membawamu pergi ke Bali. Kita akan melanjutkan kuliah di sana. Lalu kita menikah, dan seterusnya.” kata Frater Kador malam itu di beranda aula Paroki. Saat semua penghuni Paroki sudah tidur, kami duduk berdua di beranda aula Paroki. Tidak ada seorang pun dapat mencurigakan kami, karena memang gerbang dan jalan raya lumayan jauh. Kecuali kucing hitam yang mencari mangsa di malam hari berlari pontang-panting ketika melihat kami.

“Iya kakak. Saya akan setia menunggu kakak di sini. Lagi pula kita sudah saling tukar email dan kata sandi facebook. Jadi, ikatan makin kuat. Saya sangat percaya sama kakak.” saya berusaha menjawab, meskipun hati mulai menangis menahan kerinduan apabila Frater Kador pergi dari sini. Saya sangat berharap dia akan datang menjemput saya, dan pergi ke suatu tempat baru. Tempat itu menjadi saksi bisu, di mana kami mengawali pembangunan keluarga kami nanti.

 

(Baca juga: Surat Latang hi Enu)

***

Pada malam perpisahan dengan Frater Kador dan Frater Marsel, saya melayani acara makan dengan penuh tenang. Pikiran tidak tenang. Tetapi saya sembunyikan semuanya itu dengan baik-baik dan rapi.

Acara perpisahan selesai, umat dan seluruh undangan pun pulang ke rumahnya masing-masing. Frater Marsel sibuk mengatur barang-barangnya, demikian pun Frater Kador. Saya ingin membantu mereka, tetapi saya malu karena mereka mengatur pakaian di dalam kamar mereka.

Di kamar bersampingan dengan dapur, saya menunggu Frater Kador, kalau-kalau ia datang dan mengajak saya berjalan keliling kota, layaknya yang sering terjadi selama ini. Malam semakin larut, Frater Kador tidak datang juga. Sampai pagi saya menunggu kata perpisahan dari Frater Kador, tetapi tidak juga datang. Biasaya ia mengetuk pintu dengan kode tertentu supaya tahu yang datang adalah Frater Kador. Frater Kador benar-benar tidak datang. Pikiran mulai ngawur, dan berpikir tentang sesuatu yang tidak-tidak tentang hubungan kami.

Pagi itu Frater Kador dan Frater Marsel berangkat. Frater Marsel sekali lagi mengucapkan terima kasih dan permohonan maaf kepada saya, tetapi Frater Kador memilih diam. Saya enggan berkata-kata, karena takut dicurigai oleh Pastor Paroki dan beberapa umat lain yang ikut antar mereka sampai di dalam mobil. Saya tidak tahu saya harus berbuat apa. Frater Kador duduk tenang, dan tidak mengeluarkan sepata kata pun. Saya spontan berlari ke dalam kamar, dan menangis sehabis-habisnya.

Tiga hari kemudian kata sandi facebook sudah diganti oleh Frater Kador. Sementara dia tidak pegang Hp, karena tidak diizinkan oleh biara. Saya tidak tahu lagi saya harus berbuat apa. Saya tidak bisa mengejarnya sampai ke biara di pulau seberang. Saya tidak punya uang. Kuliah belum selesai.

***

(Baca juga: Nadia Cemburu pada Tuhan || Cerpen BD)

 

Suatu malam saya bermimpi bertemu dengan Frater Marsel. Kami bertemu di suatu tempat, saya berharap itu adalah tempat yang saya dan Frater Kador pernah bayangkan beberapa bulan lalu.

Saya bilang kepada Frater Marsel, teman misi Frater Kador: “Asal kujamah saja jubahnya, aku akan sembuh!” Tetapi Frater Kador berpaling dan memandang Sophie serta berkata: “Teguhkanlah hatimu, hai mantan kekasihku, pacarmu telah menyelamatkanmu!” Ternyata yang hadir dalam mimpi itu ialah Frater Kador. Tetapi mengapa Frater Marsel yang hadir pertama-tama.

Sambil berjalan, Frater Kador berkata lagi: “Pergilah dan katakanlah kepada pacarmu, undanglah aku bila kamu dan pacarmu hendak menikah atau membaptis anakmu yang pertama!” Frater Kador benar-benar pergi. Frater Kador mungkin benar-benar ingin menjadi pastor atau mengundurkan diri lalu menikah dengan perempuan lain, yang lebih cantik, lebih cerdas, lebih kudus, dan lebih kaya dari saya ini. Frater Kador, terima kasih untuk semuanya.

Frater Kador, saya menceritakan semuanya ini kepada Bella, sahabat saya di kampus ketika dosen tidak masuk. Saya berusaha menahan air mata, tetapi ia terus mengalir sebebas-bebasnya. Saya benar-benar hancur.

 

 

Post a Comment for "Setelah Putus dengan Frater, Sophie: Asal Kujamah saja Jubahnya, Aku akan Sembuh!"