Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Berkali-kali Ditolak Frater, Sophie: Lebih Baik Menabrak Matahari dan Memeluk Dingin!

(Sumber gambar: www.suara.com)


Oleh: Melki Deni

“Dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku;

tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat.”

[Mat. 10: 22]

 

Di tempat tidur saya duduk dan menangis. Saya teringat cerita atau mungkin mitos bahwa semua Wanita yang jatuh cinta dengan orang “yang dipanggil secara khusus”―Frater, Pastor atau Bruder―akan memperoleh hikmat, dan pengetahuan akan kebenaran. Kalau saja saya tergolong orang kudus, dan diperhatikan secara khusus oleh Tuhan, maka segala kemaksiatan, kemunafikan, dan keberdosaan saya akan berakhir, dan akhirnya saya bisa mendapatkan suami masa depan dari mantan Frater, Pastor atau Bruder.

Tuhan, saya tidak akan mengganggu laki-laki yang masih menyandang status Frater, Pastor atau Bruder. Tuhan cukup mengirimkan mantan Frater, Pastor atau Bruder untuk saya, setidaknya membuktikan cerita atau mitos itu. Begitu bunyi doa permohonan saya beberapa waktu lalu. Bagi saya, Frater lebih “keren” daripada Pastor atau pun Bruder!

***

Kegiatan katekese itu berlangsung jauh lebih baik daripada sebelumnya. Kalau kegiatan katekese sebelumnya dipimpin oleh dewan paroki atau katekis, kali ini Frater dari satu biara membawakan katekese di lingkungan kami―kebetulan indekos saya berada di lingkungan itu. Yang hadir pada saat itu lebih banyak daripada ketika dewan paroki atau katekis yang pimpin.

 

(Baca juga: Ada Apa dengan Puisi? IV || Arnolda Elan)

 

Frater berbicara tanpa terpaku pada teks. Sebelum berbicara dan mendalami teks Kitab Suci, Frater memberikan banyak waktu kepada umat untuk berbicara perihal hubungan antara teks Kitab Suci dan konteks hidup umat. Frater lebih banyak mendengarkan daripada berbicara atau mengkhotbakan umat, seperti yang dilakukan oleh katekis dan dewan paroki.

Sebagai anak SMA, saya dipercayakan oleh beberapa ibu untuk menjadi master of ceremony selama katekese berlangsung. Saya berkesempatan mengenal Frater lebih dekat. Kami saling tukar nomor WhatsApp dan alamat facebook supaya mudah saling komunikasi.

Satu kalimat menarik dari Frater yang dikutipnya dari Matius 10:22: “kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku.” Lalu Frater menambahkan: “Kita semua pasti pernah dibenci oleh orang-orang di sekitar kita dengan pelbagai alasan. Kita dibenci orang, karena kita jujur, terbuka, dan berbagi. Kita dibenci, karena kita tidak bersekongkol dengan mereka. Kita dibenci, karena kita sedang mengamalkan perintah dan kehendak Tuhan. Karena Tuhan, kita dibenci. Tetapi kita yakin Tuhan tidak akan membiarkan kita dibenci seumur hidup kita. Kalau kita dibenci, mestinya sikap iman dan penghayatan iman kita makin teguh.”

 


(Baca juga: Setelah Putus dengan Frater, Sophie: Asal Kujamah saja Jubahnya, Aku akan Sembuh!)

 

“Bapak ibu, saudara-saudariku yang terkasih dalam Yesus Kristus.  Kita akan paham, kita tidak bijaksana oleh karena kekuatan, akal budi, sikap, pelayanan, dan suara hati kita sendiri, tetapi juga oleh Tuhan dan sesama. Saat itu kita sudah tua: saat-saat mengingat kembali jalan menuju Tuhan. Namun penyakit usia tua yang tak pernah terobati sepanjang abad: suka menghitung-hitung dan memuji-memuji kebijaksanaan, perjuangan, kerja keras dan kesuksesan. Kemudian meremehkan dan mengutuk perkembangan generasi baru: sikap, mental, pikiran, dan perbuatan anak-anak muda. Pengalaman meyakinkan saya bahwa kebijaksanaan membuat seseorang  kelihatan dewasa sebelum usianya, atau menjadi muda, kalaupun usia tua tidak bisa menipu suaranya.” Frater berbicara pelan sambal menutup Kitab Suci.

“Frater ini benar. Cocok untuk kita yang suka gossip dan iri hati.” komentar seorang ibu di samping kiri saya.

“Saya mau Titus, anak kedua itu masuk biara supaya bisa berbicara bagus seperti Frater ini. Frater ini nama siapa?” tanya tanta Theres di belakang saya.

“Frater Bona. Tadi Frater sudah perkenalkan nama, asal, dan biaranya. Masak tidak ingat?” seorang ibu berkata.

Saya paham Frater dapat menguasai materi dan pintar berbicara di depan banyak orang karena sering membaca buku. Tidak ada Frater yang saya kenal tidak membaca buku, dan itu dibuktikan dengan unggahan pada facebook-nya. Mereka biasa mengunggah kalimat pendek, quotes, kutipan pendapat pakar/ahli/penulis terkenal, atau tulisan mereka yang diterbitkan pada koran atau media tertentu.

 

(Baca juga: Alasan Seorang Frater tidak Sulit Tinggalkan Kekasihnya – Nerapost)

 

Saya heran mengapa tidak banyak pengguna facebook lainnya tidak memberikan komentar, meskipun sesekali saya meminta Frater mengirimkan tautan tulisannya ke saya. Sejak saya mengenal Frater lewat Facebook, saya akhirnya semakin suka membaca, dan berani membeli buku di toko buku terdekat.

  Dua tahun kemudian saya jatuh cinta dengan seorang Frater. Kami berpacaran jarak jauh. Seperti orang berpacaran pada umumnya, kami saling tukar email dan kata sandi facebook. Sesekali dalam seminggu kami mengunggah foto random dengan caption bucin di WhatsApp.  Kami sepakat akan menikah suatu saat nanti. Tetapi kemudian putus, karena hal sepele; Frater selalu sibuk dengan kegiatan biara, kampus, dan dunia bukunya.

Tidak hanya satu kali saya berpacaran dengan Frater, tetapi berkali-kali. Saya selalu gagal. Saya perempuan biasa, sangat membutuhkan perhatian dan pengakuan seperti yang lainnya. Saya mau Frater selalu ada waktu untuk mendengarkan saya bercerita tentang pahit manis, suka-dukanya hidup yang saya jalani. Saya mau Frater selalu memberikan saya semangat pada saat saya terpuruk, atau ketika tugas-tugas kuliah menyerbu kesadaran saya. Saya mau Frater berjalan bersama saya, pergi ke suatu tepi pantai, melemparkan batu-batu kecil ke laut, saling menatap, dan mulai mengimajinasikan masa depan tanpa menghiraukan orang-orang di sekitar pantai itu.

 


(Baca juga: Tuhan Mati bagi Pemabuk || Cerpen BD)

 

Saya berharap Frater Bona yang saya kenal baik sejak dia bawakan katekese, bisa mendengarkan, dan memahami perasaan saya. Awal-awal Frater Bona begitu perhatian dengan saya, tidak seperti Frater-frater sebelumnya. Frater Bona mendengarkan saya, dan tidak berkomentar banyak hal tentang penampilan saya. Dia tidak pernah melarang saya jalan-jalan, memakai kosmetik, atau melakukan apa saja―yang intinya tidak merusak diri saya.

Frater Bona tidak mengekang atau mengurung saya seperti mantan-mantan saya yang masih Frater itu. Frater Bona memberikan saya kebebasan, dan itu yang membuat saya berpacaran tiga tahun dengannya. Kalau saya sementara stress, sakit hati, atau pusing karena tugas kuliah yang menumpuk, Frater Bona menceritakan cerita lucu, melawak, random, dan membangkitkan saya dengan quotes yang amat inspirational.

Tetapi kemudian Frater Bona mengirimkan saya pesan lewat WhatsApp: “Sophie, tetap kita memiliki masalah, bahkan kehadiran kita adalah masalah bagi orang-orang tertentu. Tetapi hal itu tidak membuat kita mudah menyerah, putus asa, dan bunuh diri. Kalau mereka membenci kita sementara mereka duduk, kita berjalan mengejar impian kita. Kita berhak memperoleh pengetahuan akan kebenaran dan kebijaksanaan. Suatu saat kita adalah sinar kebijaksanaan dan api inspirasi bagi orang-orang di sekitar kita. Sophie harus bisa mandiri, kerja keras, belajar, dan berdoa.”

 

(Baca juga: Pastor dan Sahabat Pemabuknya- Nerapost)

 

Belum sempat saya balas, pesan dari Frater Bona masuk lagi: “Sophie, hubungan pacaran kita sampai di sini, tetapi tidak dengan hubungan kita sebagai sesama manusia. Terima kasih untuk semua, seluruh, dan segala. Sophie sangat layak menjadi seorang istri dan ibu dari anak-anak, yang tentu saja bukan saya. Saya mau menjadi Pastor. Saya membutuhkan doa-doamu, sebab kesepian rentan menyerang saya di saat saya sendirian di biara.”

Saat saya mau sampaikan suara hati saya, saya sudah diblokir oleh Frater Bona di WhatsApp dan di Facebook. Saya tidak bisa lagi melihat wajah Frater Bona pada foto Profil WhatsApp, dan tulisan-tulisannya yang selalu menarik di Facebook. Hubungan kami berakhir di menu pemblokiran.

Di tempat tidur, saya duduk dan menangis. Ingatan-ingatan itu berjalan keluar bersama dengar air mata hangat membuat pipi terasa begitu hangat. Ingatan tentang Frater Bona dan Frater-frater lainnya mengantar saya ke suatu tempat yang jauh; duduk sendiri sambil mengutuki diri yang teralu percaya pada cerita atau mitos bahwa semua Wanita yang jatuh cinta dengan orang “yang dipanggil secara khusus”―Frater, Pastor atau Bruder―akan memperoleh pengetahuan akan kebenaran, dan hikmat.

Saya ingin air mata hangat ini mengalir sampai ke sungai besar, agar para Frater tidak lagi ingat tentang kesedihan, dan kesepian yang mereka ciptakan dalam hidup saya. Di sana, di tempat mereka melayani umat Tuhan, air mata ini tidak mengganggu mereka lagi, dan mendoakan keselamatan panggilan hidup mereka.

 


(Baca juga: Pedagogi Kritis Henry Giroux dan Terang Kebangkitan Literasi di NTT)

 

Di tempat tidur ini, saya ingin melupakan semuanya; Bahasa-bahasa yang sempat diungkapkan, pesan-pesan yang pernah diisyaratkan, jalan-jalan yang kami lalui bersama, biara, pantai, Katedral, kampus, pegunungan yang pernah kami daki bersama, dan kata-kata yang pernah ditulis pada sebuah papan antik.

Saya pun teringat kalimat terakhir dari khotbah Romo Andy yang diambilnya dari Matius 10:22 pada Minggu lalu: “Orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat.” Mereka semua, para Frater, mantan-mantan pacar saya tidak sanggup menipu diri dan mengangkangi kehendak Tuhan dalam dirinya. Mereka bertahan terhadap setiap cobaan dan tantangan, sehingga mereka selamat―setidaknya sejauh ini.

Akhirnya saya berkesimpulan bahwa lebih baik menabrak matahari daripada berperang melawan kehendak Tuhan. Dan lebih baik memeluk dingin daripada mengharapkan kehangatan pelukan orang-orang yang sudah ditetapkan Tuhan menjadi pelayan-Nya dan penjala umat―penjala saya, ikan kelaparan ini.

Di tempat tidur ini, saya ingin melupakan semua, seluruh, dan segalanya, agar saya dapat memperbarui diri dan memulai hidup baru. Saya menulis kisah ini di atas tempat tidur. Meskipun pikiran dan ingatan bertabrakan, saya memaksa tangan agar tetap menulis kisah ini.

Saya menulis kisah ini agar suatu saat nanti para Frater akan paham bahwa setiap Wanita butuh kepastian, bukan hanya ketidaktentuan-ketidaktentuan belaka. Lebih dari itu agar Frater tahu bahwa perempuan bukanlah kata-kata, yang mudah dipermainkan tanpa melahirkan kehidupan yang pasti dan jelas.

Wanita adalah manusia, bukan kata-kata yang memabukkan para Frater, sehingga ketika para Frater mabuk kata-kata, para Frater memabukkan dan menghamburkan perasaan dan proyek masa depan Wanita.

 

v  Melki Deni, penulis buku TikTok. Aku Tidak Klik Maka Aku Paceklik! dan salah satu penulis pada Dunia: Suara Penyair Mencatat Ingatan. Ia juga sering menulis puisi dan cerpen pada beberapa media lokal dan nasional. Dapat dihubungi lewat email: Melki_Deni@yahoo.com  

 

Post a Comment for "Berkali-kali Ditolak Frater, Sophie: Lebih Baik Menabrak Matahari dan Memeluk Dingin!"