Beata || Puisi Arnolda Elan
(Sumber gambar: www.kompasiana.com)
( Dengan Segala Kesakitannya )
Suatu
pagi yang dilanda musin semi, membangun rindu yang tertidur pulas di ranjang
kedamaian kasih. Beata merebahkan tubuhnya yang mungil dan memeluk guling
dengan pipi yang basah. Seharian Beata merindu, seharian Beata menangis
tersedu-sedu, merindukan momen yang sulit dilupakan. Ini terlalu gila Beata.
Buang-buang waktu saja engkau merindu, buang-buang airmata engkau menangis, tampung
saja air matamu untuk menangisi cinta yang abadi. Abadi bersama orang yang kau
sayang. Beata terluka dan lukanya
sungguh sangat basah. Cukup sekian untuk merindu Beata. Cukup sekian untuk
menangis.
Beata
mengalungkan senja di tepi pantai sore ini, bermain pasir merutuk ombak,
membius sendu di sepanjang bibir pantai. Beata ingin berenang menyusuri
kenangan yang sempat ia lupa, tahun lalu membakar semua kenangannya di dasar
laut. Biota laut menyaksikan ritual move
on Beata. Beata sungguh gila waktu itu, sempat menghilang.
(Baca
juga: Setelah Pergi; Kamu tak Menemukan Jalan Pulang || Puisi Ocha)
Senja
mengantar pulang segenap puisi-puisi Beata. Mengantarnya sampai di Kedai milik
Hati. Beata hampir saja mati suri, tubuhnya sungguh dingin dan kaku. Mukanya
pucat pasi, hatinya membeku, sepertinya ia habis mengembara di dalam kulkas.
Beata terbangun dari mimpinya yang mengenaskan. Kembali membangunkan kuil-kuil
untuk melindungi hatinya yang terluka. Ya, Beata terluka. Beata meringkus
pilunya sendirian dan membungkus lukanya yang masih menganga.
Sungguh
malang nasib Beata. Menaruh cinta seluas
Samudra, menabung rindu sebanyak-banyaknya. Beata meninggalkan hatinya di dalam
gubuk kenistaan yang ia buat sendiri, beranjak pergi hirap tanpa meninggalkan
bekas jejak kenangan. Pelupuk mata senja meneteskan airmata pilu, melihat Beata
mengabaikan cinta yang senja tawarkan . Hari ini payung ingin meneduhkan rindu
dari seorang gadis cantik Bernama Beata. Rindu dengan segala riang bersama
payung ketika senandung hujan membasahi bumi, menari sampai basah kuyup,
tertawa lepas, dan tak pernah Beata merasa sepi. Payung merindukan itu. Lihatlah mata jernih Beata yang sembab dan
merah menahan perih. Tubuh mungilnya yang ringkih sekarang telah puas dengan
segala sakit-sakitan yang hampir merayap alam baka.
(Baca
juga: Isi kepala Lelaki Pemberontak || Cerpen BD)
Pagi menghantar sejuk di dekat kibasan anak rambut Beata. Sinar matahari menghangatkan pipi yang semalam dingin, embun pagi menyejukan jiwa yang semalam rapuh, secangkir kasih penuh harap diaduk dengan cinta, diseduh dengan amin untuk langkah selanjutnya. Beata tak sendirian pagi ini. Semalam duka untuk yang terakhir kalinya, kuharap. Luka yang melambai pergi tanpa berniat untuk kembali. Semoga saja Beata. Hantarkan saja segala ujudmu di antara kepulan kopi pagi ini, biarkan embun membasuh dukamu selama ini, mentari pagi membakar luka, dan segenap baiknya rindu yang kau titipkan menguasai jagat raya. Engkau perkasa Beata. Aku pamit pulang Beata, mau kubuka Kedaiku pagi ini. Jangan lupa mampir menjaring rindu, agar tetap abadi dalam kasih.
Post a Comment for "Beata || Puisi Arnolda Elan"