Ada Apa dengan Puisi? III || Puisi Arnolda Elan
(Catatan:
Baca dahulu bagian I dan II)
Bagian I: Ada Apa dengan Puisi? || Puisi Arnolda Elan)
Bagian II: Ada Apa dengan Puisi II || Puisi Arnolda Elan)
(Ia menghilang)
Mendung membawa segenggam duka. Membalut pilu
memberitakan kabar, bahwa anak kata di lembaran putih polos telah menghilang.
Aku masih membersihkan remah-remah sakit hati dari pengunjung kedaiku pagi ini,
dalam benakku Aku bertanya, “Siapakah yang berani menculiknya dan kemanakah
Puisi berada, hingga anaknya menghilang?” Kali ini Aku benar-benar kewalahan
membenah hiruk-pikuk di kedaiku pagi ini. Puisi tak lagi menampakkan batang
hidungnya, sosoknya menghilang begitu saja. Jujur saja, Aku rindu. Sehari saja
ia tak nongol di kedaiku, hampa rasanya.
Puisi ke mana saja dirimu berada? Pelosok kosakata
Aku mencarimu, buana diksi Aku jelajahi, dirimu tak nampak. Akhirnya hujan
mengeluh, menjatuhkan dirinya dengan sikap malas, rindunya mengalir sendu di genting
kedaiku. Puisi hirap meninggalkan duka, Aku ingin mati suri. Apa kau tau itu
Puisi?
(Baca juga: Alasan Seorang Frater tidak Sulit Tinggalkan Kekasihnya – Nerapost)
Kenangan menggantung menyerahkan diri. Merapal senja
membawa kabar baik, pasang surut suanggi rindu di tepi pantai terus mengejek.
Menertawakan tunggu yang mengambang dan terapung. Puisi sungguh menyiksa
semesta. Aku, mencaci maki tepung kopiku, memecahkan cangkir antik pemberian
Puisi tahun lalu, setelahnya Aku merebus duka yang masih mentah semalam, lupa
kumakan. Puisi bercandanya bukan main, menghilang setelah partus anak-anaknya
yang mungil, hasil pertempurannya di malam Jumat kali lalu bersama Pena.
Sampai-sampai ranjang lembaran putih itu masih bersih.
Pintu rumah Puisi berderit, anaknya ada yang pulang.
Tumbuh sehari membawa kembang dan selembar kertas kusam, sedikit pesan dari
Puisi mungkin. Dari jendela Aku melihat, segera Aku menghampiri anaknya.
Menggendongnya dengan luka yang masih menganga, anaknya menanggung segala dukanya.
Puisi, ada apa gerangan? Betapa menyedihkan anakmu ini, membasuh keringat
pengkhianatan dan kemelaratan duniawi. Anaknya barusan dicerca oleh tawon-tawon
desa yang paling maha benar menjalani hidupnya. Puisi, anakmu membutuhkan ASI
dan belaian kasihmu. Engkau di mana?
(Baca juga: Setelah Sidang Skripsi, Sophie: “Frater, Tetap Langgeng dengan Panggilanmu ya!”)
Senja Kembali membuat gaduh di tepi bibir pantai
sore ini. Menggendong cinta yang masih kecil dan melemparnya di batu karang,
cinta kesakitan dan berdarah. Sejenak Aku merindukan Puisi yang selalu
menderita di tampar kekasihnya, bukan Pena. Puisi pergi meninggalkan luka dan menyuruh
anaknya Kembali, supaya rumah masih ada yang naungi. Anaknya sungguh cekatan.
Aku menulis duka pada lembaran kusam yang dititipi
lewat anaknya. Memasukannya di dalam botol dan lempar di tengah laut, ombak
tertawa dan laut mencibir. Lihatlah puing-puing sakit hati dari si Puisi,
menari-nari dan bersenda gurau. Hingga pada akhirnya senja pamit pulang,
ketahuilah tak kusuguhkan kopi untuknya, sebab Puisi tak lekas kembali pulang.
(Baca juga: Ibu Muda Demam Bento - Nerapost)
Pesan untuk Puisi: kalau pergi, jangan lupa pamit,
supaya tak dicari dan Aku tak khawatir. Kalau menghilang jangan lupa
meninggalkan pesan, setidaknya. Supaya Aku tak perlu menunggumu di kedai. Aku
rindu dengan sebakul dukamu dan secangkir luka yang kau seruput di kedaiku. Itu
saja, jangan lupa pulang. Anakmu menunggu dengan cinta. Sekian pesan dariku.
Malam menyejukkan kalbu yang biru lebam, terluka dan
basi. Mungkin saja hampir busuk diabaikan. Aku menyeruput hangat menghalau
dingin yang mencekam, membius sepi dan menggerogot imaji liar. Seperti pemburu
saja, Aku mengalahkan rindu, takut ia duluan menduduki kerajaan hati.
Setelahnya Aku patah dalam merindu. Puisi pulanglah!
Post a Comment for "Ada Apa dengan Puisi? III || Puisi Arnolda Elan "