Urgensitas Pendidikan Literasi Media Kritis
Oleh: Fr. Damas Kelore, SMM
Pergeseran
media massa konvensional ke media baru tersebut banyak mendatangkan kemudahan
kepada masyarakat akan tetapi juga memiliki dampak yang negatif kepada
masyarakat. Bennet dan Entman menyatakan bahwa “mediated communication, from nes programs to entertaiment fare,
servece important functions in contemporary public sephere (dalam
melaksanakan peran mediasinya itu, media dan komunikasi bisa berperan sebagai
mediasi yang baik, tetapi juga buruk)”. Disadari ataupun tidak, terpaan media
yang sangat intens terhadap khalayak dapat memberikan pengaruh terhadap
persepsi khalayak terhadap suatu hal, pola pikir, maupun dalam pengambilan
keputusan. Seperti yang digambarkan pada Hypodermic Needle Theory yang
menyatakan bahwa apa yang disajikan media massa, secara langsung memberi
rangsangan atau berdampak kuat pada diri audience,
teori ini menganggap bahwa audience
memiliki ciri khusus yang seragam dan dimotivasi oleh faktor biologis dan
lingkungan serta mempunyai sedikit kontrol. Meskipun saat ini berkembang beberapa
teori yang lebih baru yaitu teori uses
and gratification yang menyatakan bahwa, dalam menggunakan media, khalayak
akan memilih tayangan-tayangan atau informasi yang mereka butuhkan maupun sukai
sehingga khalayak cenderung untuk menyeleksi tayangan-tayangan atau informasi
yang akan menerpa mereka. Media sosial telah menghilangkan budaya berpikir
kritis bagi subyek pengguna. Maka dari itu, sangat penting untuk mencanangkan
dan menggaungkan terus-menerus betapa urgennya sebuah pendidikan literasi media
kritis.
(Baca juga: Banalitas Puisi di Era Digital)
Budaya berpikir kritis ini
bisa didapatkan melalui pendidikan. Pendidikan formal dan informal memiliki peran yang besar dalam mencetak
masyarakat yang kritis dan selektif dalam menyaring informasi yang beredar pada
media sosial. Pendidikan terbukti memiliki hubungan yang kuat dan positif
terhadap ketahanan individu, artinya semakin tinggi budaya pendidikan maka
semakin tinggi pula ketahanan individu.
Salah
satu cara untuk menumbuhkan sikap kritis dalam bermedia sosial adalah
pendidikan tentang literasi media. Literasi media memberikan kemampuan kepada
khalayak dalam menganalisis, memilah, serta kritis terhadap konten media. Namun hal itu dipengaruhi oleh locus pribadi
dari setiap individu dalam menyikapi dan menginterpretasi pesan yang diterimanya.
Subyek menginterpretasikan makna dari
pesan yang diterimanya tergantung dari latar belakang individu tersebut dan
pengalamanya di masa lalu. Hal ini disebut dengan istilah filter.
Pada media baru, filter ini sangat berperan dalam
menyikapi setiap konten media yang menerpa khalayak, mengingat adanya
pergeseran konsep media massa konvensional ke media baru. Di mana pada media
baru tidak adanya peran gatekeeper dan
kurangnya peran regulator dalam mengontrol konten media pada media baru.
Semakin tinggi tingkat literasi media seseorang maka semakin banyak makna pesan
yang dapat digali dari konten media yang diterimanya, sebaliknya semakin rendah
tingkat literasi media seseorang maka semakin sedikit atau semakin dangkal
makna yang dapat mereka ambil dari pesan yang mereka terima.
(Baca juga: Di Balik Kafe || Cerpen Sintia Clara Aritonang)
Khalayak yang memiliki tingkat literasi media yang
rendah cenderung akan menerima pesan sesuai dengan apa yang dikonstruksikan
oleh media. Mereka cenderung menerima
pesan apa adanya tanpa menggali lebih dalam makna dari pesan tersebut, apa
makna yang tersirat dari berita atau informasi yang mereka dapatkan, mereka
cenderung sulit untuk menilai keakuratan pesan, keberpihakan media, memahami
kontroversi mengapresiasi ironi atau satire dan sebagainya. Mereka menerima
memaknai pesan-pesan media apa adanya tanpa berupaya mengkritisinya.
Hal yang perlu dipahami oleh khalayak bahwa adanya
korespondensi antara kenyataan (real world) dengan kenyataan yang
direpresentasikan oleh media. Dalam merepresentasikan fakta, media melakukan
proses mendesain, memilih menyeleksi dan mengedit fakta yang akan disajikan
sebagai konten media. Pada dasarnya media telah menyajikan peristiwa secara
faktual hanya saja peristiwa yang disajikan telah melalui serangkaian proses
produksi. Dalam memproduksi pesan tentunya media mendapatkan pengaruh dari
industri yang membuat media akan mempertimbangkan faktor-faktor keuntungan dari
konten media yang disampaikan. Media dikonstruksi oleh lingkungannya dan
representasi media mengonstruksi realitas sehingga konten media merupakan
gambaran parsial dari realitas sesungguhnya.”
(Baca juga: Pedagogi Kritis Henry Giroux dan Terang Kebangkitan Literasi di NTT)
Khalayak yang tidak memahami bahan apa yang
ditampilkan oleh media merupakan konstruksi media terhadap peristiwa di
kehidupan nyata. khalayak yang tidak
terliterasi akan menganggap bahwa peristiwa yang ditayangkan media adalah
sebuah kenyataan. Padahal tidak semua seperti itu. Oleh karena itu diperlukan
keterbukaan dari khalayak untuk memperluas pengetahuannya agar kalayak memiliki
alternatif pilihan atau cara untuk memahami peristiwa yang ditampilkan di
media.
Kenyataan bahwa, tidak ada sepenuhnya media
bersifat objektif. Setiap lembaga media
berisi nilai dan ideologi. Sehingga setiap media mengkonstruksi pesan sesuai
dengan nilai dan ideologi yang mereka anut. Media juga menjadi kendaraan
ideologi bagi penguasa untuk melontarkan pesan propaganda politik ataupun
pemodal yang mendidik masyarakat sebagai konsumen produk-produk kapitalis,
dengan memahami hal tersebut khalayak dapat menjadi lebih kritis terhadap
konten media yang berupa pesan-pesan politik iklan, dan juga promosi yang
ditampilkan di media massa konvensional maupun di media baru yang muncul setiap
saat pada saat mengakses media tersebut. Literasi media dapat meningkatkan
kualitas dan kuantitas intelektual masyarakat itu sendiri agar setiap subyek
dapat berpikir kritis dan selektif.
(Baca juga: Kabar Duka dari Pulau Seberang || Cerpen BD)
Pemahaman Literasi media tidak hanya saja dapat diberikan melalui media itu
sendiri ataupun dengan menggunakan pengawasan media. Selama ini pemerintah
melakukan pengawasan terhadap isi media, akan tetapi hal ini tidak bisa kita
lakukan sepenuhnya mengingat betapa besarnya arus media yang menerpa khalayak,
sehingga khalayak lah sendiri yang harus diberikan pemahaman dan pendidikan
akan tayangan tersebut, khalayak harus cerdas sehingga dapat memfilter
pesan-pesan yang menerpanya, sehingga pemahaman mengenai konten media tidak
hanya didapatkan melalui pengetahuan di media saja akan tetapi dapat pula
didapatkan melalui jalur pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai kepada
tingkat perguruan tinggi, baik dalam bentuk
formal maupun nonformal.
Peran organisasi masyarakat dan kelompok-kelompok keagaaman dalam hal ini juga sangat penting dan memiliki peran yang sangat besar dalam melakukan literasi media. Peran tokoh agama pada masing-masing agama diperlukan dalam memberikan pemahaman kepada khalayak berkaitan dengan konten media.
Post a Comment for "Urgensitas Pendidikan Literasi Media Kritis"