Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tuhan Mati bagi Pemabuk || Cerpen BD

(Sumber gambar: news.detik.com)



Duka selalu datang tak disangka-sangka. Ia datang dengan semaunya tanpa diundang, melibas dengan kejam tanpa ampun, tanpa ada belas kasihan. Ia pandai menciptakan pilu dan suka mendatangkan air mata. Saking ganasnya banyak orang yang ingin menghindar darinya tetapi tak ada satu orang pun yang mampu menafsirnya, kapan ia datang dan kapan ia akan pergi. Semuanya menjadi misteri, hanya Dialah yang tahu.

Jalan paling bijak adalah menerimanya sebagai bagian dari kehidupan. Tanpa duka hidup terasa hambar sebab hanya dengan duka kita mampu merefleksikan kehidupan ke arah yang lebih baik. Tikungan 04 merenggut nyawa Rinus. Canda dan tawa saat tubuh masih enak bersandar pada kursi empuk. Saat pemandang alam menawarkan keindahan yang pasti. Saat batin terasa eden, semuanya menjadi indah dan bahagia. Tetapi bahagia itu pergi secepat waktu dan mungkin juga ia pergi tanpa pamit. Seolah-olah ia merestui kisah pilunya.


(Baca juga: Merindu di Pusara Ibu dan Perihal Kamu || Kumpulan Puisi Lee Clara Mbembe)


Tikungan 04 sebagai saksi bisu setelah mobil sedan hitam mencium dan melumatnya dengan kasar. Tanpa ampun juga ia membalasnya dengan kejam membantingkan beberapa tubuh sampai berlumuran darah bahkan ia merebut kehidupan dari Rinus dan mematahkan tulang-tulang pada tubuh sahabatnya. Tangisan orang-orang yang menyaksikan kejadian memecahkan kesunyian di Tikungan 04 itu. Tikungan itu dikenal dengan tikungan maut, sudah berapa kali ia merenggut nyawa orang-orang yang melintasi di tikungan itu.

 Pengendara yang tidak hati-hati sudah pasti akan celaka. Ada orang yang percaya bahwa di tikungan itu ada sosok seorang nenek tua yang setiap hari jumat ia berdiri di tikungan itu. Orang-orang di sekitar itu sudah membuat ritual adat tetapi tetap saja tikungan itu memakan korban. Banyak orang-orang kampung yang tidak percaya lagi dengan adat, kalau memang jalan keluarnya dengan acara adat, mengapa tikungan itu selalu memakan korban.   


(Baca juga: Sumarto dan Impiannya yang Dipaksa Mati || Cerpen BD)


Rinus dan sahabatnya pergi mengikuti pesta pernikahan di kampung sebelah. Mereka mengendarai mobil sedan hitam milik ayah . Perjalanan untuk sampai di tempat acara itu cukup jauh. “Ayah, saya pinjam mobil untuk pergi pesat” kata Rinus kepada ayahnya yang masih asyik menyeduh kopi. Ibu Rinus mendengar permintaan anaknya dan berkata “Iya, kamu  bawa saja tetapi hati-hati. Jangan terlalu ngebut dan jangan minum tuak” teriak ibu Rinus dari dapur.

Rinus langsung tancap gas bersama sahabatnya. Lagu Eric Clapton berjudul ‘Wonderful Tonight’ diputar berkali-kali. Wajar saja, mereka semuanya menyukai lagu-lagu barat. Sesampainya di tempat pesta, mereka disambut oleh tuan pesta yang tidak lain adalah sahabat mereka pada saat kuliah dulu. Pesta yang begitu meriah, apalagi tuan pesta memakai band ternama sehingga lagu-lagunya pun berkelas.


(Baca juga: Wulan ke Kota dengan Jalan-jalan Telanjang || Puisi No Eris)


Rinus dan sahabatnya duduk di tempat paling depan. Di hadapan mereka telah tersedia berbagai minuman berkelas mulai dari Bir bintang, sampai tuak dari nomor satu sampai nomor sekian. Saking gembira dan terbawa suasana Mereka pun minum sampai mabuk. Kira-kira pukul 04:00 pagi, Rinus dan sahabatnya berpamitan dengan tuan pesta. Mereka harus cepat pulang  karena tepat pukul 08:00, Rinus akan mengikuti pertemuan di kantor desanya. Iapun mengendarai mobil dengan keadaan setengah sadar. “Aman, kita ada Tuhan” kata Rinus sambil membuka pintu mobilnya. Pada saat ia hendaknya menyalakan mesin mobilnya, Rinus membuat tanda salib.

Mereka pun meninggalkan tempat pesta. Kurang lebih 300 meter, sahabatnya melihat Rinus sudah tak kuat lagi. Beberapa kali mobil laju di luar jalur. “Oeee Nus, molor koe ba oto dhau ta” kata sahabatnya yang duduk di kursi paling belakang. Rinus dengan santai menjawab “Aman teman.” Rinus terus tancap gas. lima menit sebelum masuk tikungan 04, sahabatnya kembali berteriak “Nus, mau masuk tikungan 04 ge, pelan koe.” Rinus tak menghiraukan lagi perkataan sahabatnya.


(Baca juga: Air Mata Tanda Cintaku yang Paling Tulus || Puisi Selviana Grasantia)



Ia melajukan mobilnya di luar batas normal. “Peeeemmmmm,” bunyi ledakan ban depan mobil dikendarai oleh Rinus. Pada saat itu juga mobil menghantam tembok pembatas tikungan. Bagian depan mobil hancur lebur. Rinus masih terjepit di rongsokan mobil dengan berdarah, sedangkan empat orang sahabatnya terluka parah.  Orang-orang di sekitar tikungan 04 itu, berlarian untuk melihat kecelakaan itu.

Tangisan histeris orang-orang yang melihat kejadian sampai ke telinga kedua orang tua Rinus. Empat orang sahabat Rinus dilarikan ke rumah sakit terdekat sedang tubuh Rinus sudah mati kaku sedangkan darahnya terus mengalir dari luka-lukanya. Ayah Rinus bergegas dengan mengendarai motor, setibanya di tempat kejadian, ia melihat jasad anaknya yang sudah ditutupi dengan kain putih. Ia menangis sejadi-jadinya.


(Baca juga: Bangku Kota dan Sejuta Kenangan || Cerpen BD)


Tikungan 04 itu menjadi menjadi saksi terakhir kehidupan Rinus. Ayahnya mulai menyalahkan ritual adat dan tak henti-hentinya ia menyalahkan Tuhan. Wajar saja, ayah Rinus adalah seorang dewan Stasi kampung itu. “Tuhan tidak adil, mengapa Engkau setega ini dengan keluarga kami. saya sudah melayani-Mu tetapi Engkau membalas sekejam ini” teriak ayah Rinus sambil memeluk tubuh anaknya. “Apakah Tuhan memang ada ataukah Dia mati bagi sang pemabuk” lanjut sang ayah.

*Cerpen ini pernah dimuat di Buletin La'at Natas


Post a Comment for "Tuhan Mati bagi Pemabuk || Cerpen BD"