Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Setelah Sidang Skripsi, Sophie: “Frater, Tetap Langgeng dengan Panggilanmu ya!”

 (Sumber gambar: plus.kapanlagi.com)


Oleh: Melki Deni

 

Saya Sophie, mantan pacar Frater dua tahun lalu. Pertama kali saya kenal Frater, ketika saya mengucapkan selamat atas tulisannya yang terbit di satu media massa. Frater mengunggah tulisannya itu di beranda facebooknya. Ratusan komentar memuji tulisan Frater  itu, dan saya yang bersikap seolah-olah mengenalnya sejak lama pun ikut berkomentar.

Tulisannya memang bagus sekali, setidaknya sesuai dengan perasaan saya saat itu. Ia menulis dengan baik, karena ia melatih menulis sejak Seminari Menengah. Lalu melanjutkan studinya pada program studi Filsafat.

(Baca juga: Wajib Kamu Tahu! Lima Keunggulan Suami Eksfrater)

Saya Sophie, pernah nyaman dengan kata-kata Frater. Saya studi Ilmu Keperawatan, tetapi tidak tahu cara menulis Skripsi. Bahkan saya tidak bisa menyelesaikan beberapa tugas kuliah. Karena itu saya meminta bantuan Frater untuk mengerjakannya. Puji Tuhan, dosen memberikan saya nilai bagus. Sejak itu saya semakin jatuh cinta padanya—bahkan ingin segera memilikinya.

Semua persoalan dan masalah dijelaskan dan diselesaikannya dengan sangat baik. Terkadang saya pura-pura menceritakan satu masalah yang tidak saya alami kepadanya, tetapi dia menanggapi saya penuh seluruh. Ia mendengarkan saya. Setelah itu, ia berbicara penuh wibawa yang diselipi dengan beberapa teori psikologi, biologi, teologi, politik, ekonomi, bisnis, dan seterusnya. Saya tidak pernah bosan mendengarnya. Ia seolah-olah tahu semuanya.


(Baca juga: Cinta Terhalang Pagar Tuhan || Cerpen Sintia Clara Aritonang)

Beberapa kali ia menyentil perasaan saya dengan kata-kata puitis, padat, bijaksana, membuat saya setengah mati. Saya tidak bisa berpaling lagi. Saya terperangkap dalam permainan bahasa, dan kepiawaiannya memberi nyaman.

Tak terkecuali ketika saya sedang krisis perhatian, ia memberikan saya perhatian. Atau ketika saya sedang krisis pengakuan, ia mengakui saya dengan segala keterbatasan dan kekurangan saya. Frater membangkitkan gairah saya untuk hidup, dan mengerjakan segala sesuatu. Segala sesuatu tentang saya sangat bernilai baginya. Kalau Anda diterima dan dipandang bernilai oleh seseorang-apalagi dia yang sangat kau kagumi selama ini. Apakah Anda nekat untuk menipu diri, menghindar dan mencari tempat pelarian semata. Tidak, Anda (dan saya) tidak mungkin menipu diri, lalu....

(Baca juga: Ruangan Kuliah)

Kami pun berpacaran. Menjalani hari-hari layaknya orang-orang berpacaran.

Dua tahun lalu, saya akui saya tidak bisa menulis skripsi. Saya meminta Frater untuk mengerjakan Skripsi saya. Waktu itu ia juga sedang sibuk kerja Skripsi-nya. Dia sering bolos dari biara, dan mengerjakan Skripsi saya halaman demi halaman di indekos saya. Jauh malam pun ia tidak peduli. Ia sewa motor orang. Beberapa kali ia belikan saya buku referensi, jurnal, dan kertas untuk cetak skripsi. Demi saya, ia lakukan semuanya itu.

Tetapi apakah saya disebut gadis matre? Tidak, saya tidak pernah meminta Frater membelikan semuanya itu. Dia sendiri membeli tanpa kesepakatan dengan saya.

Beberapa kali saya mendengar dia telepon dengan bapaknya, meminta sejumlah uang untuk keperluan skripsi dan kebutuhan lainnya. Bapaknya bilang: “Esok siang, bapak kirim ya!” Orang tuanya tidak pernah tunda waktu mengirimkan dia uang.


(Baca juga: Cara Melupakan Mantan)

Ia juga beberapa kali menceritakan bahwa orang tuanya tidak menghendaki dua jadi seorang pastor. Tetapi saya sendiri dengar bapak mamanya bilang ia harus menjadi pastor. Setelah mendengar perkataan bapak mamanya, saya mulai menciptakan jarak dengannya.

Jarak semakin lebar, ketika saya sudah menyelesaikan Sidang Skripsi. Dosen memuji Skripsi saya—meskipun bukan saya yang mengerjakannya. Saya bertekad untuk tidak menggangu Frater lagi, meskipun sangat berat. Saya tidak punya pilihan lain, saya harus memutuskan hubungan kami.

Malam itu, saya telepon dia.

“Frater, sudah makan malam?”

“Tumben, Sophie panggil saya seperti itu. Ada apa ya? Iya, saya sudah makan malam. Sophie, udah makan malam?” katanya.

“Syukur kepada Tuhan. Saya juga sudah makan malam, Frater. Hehehe.”

“Kenapa panggil Frater?” ia bertanya.

“Jujur, Frater. Saya tidak mau menjadi pengganggu dan penghalang atas panggilan Frater. Frater harus tetap teguh dalam Panggilan. Frater harus menjadi seorang pastor. Bapak mama dan keluarga besar sangat mendukung Frater menjadi seorang pastor. Jadilah pastor yang bijaksana seperti yang saya kenal selama ini. Kalau suatu saat saya nikah, saya harap Frater yang kemudian menjadi pastor memberkati pernikahan kami. Btw, terima kasih atas segalanya, dan syaa mohon maaf atas semuanya.”

(Baca juga: Frater Aku Mencintaimu || Cerpen BD)

“Apa maksud semua ini, Sophie?”

“Terima kasih sudah mengerjakan Skripsi saya selama ini, dan segala sesuatu yang Frater berikan selama ini. Tuhan membalasa semua, seluruh, dan segala kebaikan Frater. Kaka Frater, tetap langgeng dalam Panggilan ya. Begitu banyak umat sangat membutuhkan pelayananmu. Selamat malam, Frater!”

Saya langsung matikan telepon, dan ganti dengan nomor Hp baru.  Sementara telepon saya memblokir dia di Facebook, Instagram, dan WA. Saya lakukan itu supaya saya bisa move-on, meskipun sangat berat. Tetapi saya percaya waktu akan melampaui dan mengatasi semuanya.

Hari-hari ini saya lewati, meskipun cukup setengah mati.

Saya sedang menunggu tibanya jodoh yang ditetapkan Tuhan untuk saya.

 

Catatan: Cerita di atas merupakan penggalan kisah nyata seorang mantan pacar Frater. Ia tidak mau menyebutkan namanya.

1 comment for "Setelah Sidang Skripsi, Sophie: “Frater, Tetap Langgeng dengan Panggilanmu ya!”"

  1. Palingan kisah seorang penulis sendiri.hhh apa kabar bro

    ReplyDelete