Ada Apa dengan Puisi? || Puisi Arnolda Elan
(Dokpri Arnolda Elan)
Kemarin
puisi berjalan menyusuri lorong-lorong kemelaratannya di ujung Kota yang sunyi
senyap. Menari dengan segenap luka yang
masih menganga. Menunggu kepastian di tepi bibir pantai dengan mata sembab
penuh peluh dan jemari yang melepuh. Sepasang kekasih menghantar senja di
pelataran semu di bibir pantai Sore itu. Puisi menangis melihat hal itu. Ingin
sekali menangis sambil berteriak, mengguncang segala isi dunia dengan
memuntahkan kegundahannya.
(Baca
juga: Rindu yang tak Pernah Usai || Puisi Sr. Patri Firtika, SSpS)
Hingga
pada saat itu Puisi menjerit penuh luka lebam yang menghiasi kemolekan
tubuhnya. Banyak kisah yang masih terselubung dengan apik dan belum sepenuhnya
terbongkar. Hari itu Puisi meronta-ronta dan menangis sejadi-jadinya, bahkan
mengancam sajak-sajak yang mengejeknya, memperalatkannya demi keutuhan daksa
yang paripurna. Itu dia, Puisi. Sosok yang selalu kesepian dan selalu dilanda gundah
gulana. Sejak saat itu Puisi tak lagi mau berteriak dan menggila dengan anak
kata yang selalu merajai tubuh mungilnya. Puisi benar-benar kacau dan mencintai
keheningan. Keheningan yang penuh dengan
kemelaratan. Asin yang teramat sangat.
(Baca
juga: urat Rindu untukmu Nana || Puisi Ita Suryani)
Puisi
kali ini sungguh sangat rapuh. Berjalan
pun tak mampu dan ia hanya menggeleng jika ditawarkan kopi. Tak mampu lagi ia
menyeduh kasih di cangkir yang mengepul mesra itu. Puisi yang dulu sangat aktif
kini harus terbaring lemas dan merebahkan peluh cercaan seribu mulut yang setia
bersarang di gendang telinganya. Entah apa yang terjadi dengan puisi kali ini?
Suguhan kata yang selalu timbul tenggelam di benaknya terapung bagaikan ampas kotoran yang selalu
menertawai dirinya. Puisi kebablasan menyeimbangi rindu yang selalu menggelayut
manja di pikirannya.
(Baca
juga: Lelaki Menantinya di Tangga Unit Agustinus)
Setiap
hari menyusuri tapak-tapak kemunafikan dan memasang wajah hipokrit untuk menutup
lukanya yang semakin hari semakin menganga. Puisi begitu kuat menghadapi buana
dengan segala cercaannya. Tak terhitung makian dan sumpah serapah yang dilontarkan
begitu nyaring, hingga terdengar di setiap sela-sela mimpinya. Gunjingan itulah
yang setiap hari menjadi cermin untuknya. Menjadi bantal peluk walau sekadar
menghangatkan tubuhnya, gunjingan-gunjingan itu berharga dan Puisi berhutang
budi padanya.
(Baca
juga: Riwayat Kematian || Puisi No Eris)
Puisi
mengakhiri ceritanya sore ini. Dengan segelas kopi dan sebatang rokok, ditemani
senja mengolok bibir pantai yang hampir kering. Meniduri rayuan kelapa dan menggelitik
pasir putih sore ini. Puisi bercerita kepadaku, perihal lukanya yang menganga
dan masih basah, tentang mimpi buruknya setiap kali ia tidur, serta gunjingan
rabies yang menjadi musik pengantar tidurnya.
Tak lama kemudian Puisi pamit untuk pulang. Matanya masih basah dan
cintanya porak-poranda. Puisi pulang masih membawa luka, seribu peluh dan air
mata yang kini menjadi anak sungai.
(Baca
juga: Malam Merengkuh Pada Lelakiku || Puisi Elisabeth Nona Marsi)
Malam
itu Puisi masih menyimpan dukanya. Terlihat jelas di matanya. Senyum kegetiran mewakili
perasaannya. Puisi enggan berbagi dukanya, ia menjadikan dukanya sebagai
makanan. Puisi tidak merangkai kata untuk menyembuhkan hatinya, Puisi kali ini
benar-benar diam dan mencintai keheningan. Puisi, ada apa denganmu? Lekas
sembuh, jangan rapuh!
Post a Comment for "Ada Apa dengan Puisi? || Puisi Arnolda Elan"