Ada Apa dengan Puisi II || Puisi Arnolda Elan
(Luka
dalam)
Puisi
kali ini meratapi pagi yang masih memburu embun di kelopak mata gadis desa.
Dingin yang masih membalut pilu kini menjelma air mata yang asin dan luka itu
masih basah. Puisi membeli kopi di warung pelepasan kasih kali lalu, menyeduh
dan meyeruputnya penuh kegetiran. Asam, pahit, dan luka yang diteguknya memperkuat
tali persaudaraan penyiksaan batin. Puisi memang begitu. Pandai menyembunyikan
luka dan memeliharanya dengan kasih. Ohhhhh PUISI.
(Baca
juga: Oan Diak Ka Lae? || Puisi Fino De Carvalho)
Sosok
yang rapuh nan rupawan merawat luka, itu
dia Puisi. Puisi, makhluk yang numpang hidup di atas lembar putih polos,
selalu bercinta dengan pena yang sebelumnya perjaka, kedatangan Puisi telah
menghancurnya secara perlahan-lahan.
Pena rusak dan kehabisan tinta, Puisi nafsu bercinta untuk menghasilkan
anak-anak kata yang sehat dan mungil, lincah dan bisa menyembuhkan luka, tumbuh
dan bisa menguak kebenaran. Itulah mimpi dari Puisi.
(Baca
juga: Di Balik Kafe || Cerpen Sintia Clara Aritonang)
Puisi
menderita cukup lama. Sekarang ia masih memikul beban yang memberatkan rindu
dan hasrat cinta untuk kekasihnya. Politik asmaraloka merengkuhnya, Puisi
kalang kabut. Setiap saat percekcokan terus bergurau dalam hidupnya, segala
bentuk defensif rindunya telah jatuh dan itu tak bernilai sama sekali di mata
kekasihnya.
Lengkaplah
penderitaannya. Animo Puisi yang kini pupus dan semesta meretas itu. Tangan
yang halus dan penuh kehangatan, rayuan senja bersama kekasihnya, suguhan candu
yang selalu dinantinya, ahhhkkkk itu semua semu. Sungguh indah Puisi
berhalusinasi. Ekspektasi yang dirangkai begitu indah dan apik, kini melebur
menyisahkan debu menyebabkan batuk, sakit tenggorokan, sesak nafas, dan terabaikan.
Puisi benar-benar rapuh.
(Baca
juga: Kabar Duka dari Pulau Seberang || Cerpen BD)
Malam
meninabobokan Puisi dengan seperangkat air mata, luka dalam, goresan pilu, dan
rindu yang tumpul. Setelah Puisi menceritakan kisahnya kepadaku sore ini, Aku
ketakutan Puisi susah tidur. Aku bertanya padanya perihal luka yang kemarin
belum kering. Ternyata, memang belum kering adanya dan masih basah.
Puisi
masih bernafas, tapi tidak dengan raganya. Puisi ada apa denganmu sebenarnya?
Jika luka, berobatlah, jangan menangis! Puisi, jangan pendam sendiri dukamu.
Aku masih di sini. Menanti luka untuk dijahit bersama-sama, jangan biarkan
lukamu menganga. Kedaiku masih menunggu keluh kesahmu, lekaslah
pulih!
Post a Comment for "Ada Apa dengan Puisi II || Puisi Arnolda Elan"