Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sumarto dan Impiannya yang Dipaksa Mati || Cerpen BD

(Sumber gambar: www.malangtimes.com)


“Impian tanpa perjuangan adalah mimpi yang berkepanjangan” sepenggal Quotes Bung Donttel yang dikutip oleh Sumarto dalam status WhatsAppnya. Sumarto, seorang pemuda berdarah Manggarai Timur yang beberapa bulan yang lalu ia baru menyelesaikan pendidikan sarjana Komunikasi Politik di salah satu kampus ternama di Yogyakarta. Ia dikenal seorang pemuda yang berintegritas tinggi. Ia juga salah satu aktivis muda yang aktif dalam organisasi PMKRI cabang Yogyakarta. Ia suka menulis dan sudah empat buku yang sudah diterbitkan sejak ia berada di bangku kuliah. Ia orang pertama yang kuliah dibagian komunikasi politik di kampung. Orang-orang di kampungnya lebih banyak kuliah ambil keguruan karena memang pendidikan di daerah itu sangat memprihatinkan. Dengan idealis yang tinggi apalagi semangat aktivis membuat Sumarto mengimpikan kemajuan daerahnya. “Aku akan pulang ke kampungku, memajukan daerahku yang selalu luput dari perhatian pemerintah” gumam sumarto saat ia pertama kali melihat ijazah sarjananya.

 

(Baca juga: Kita Hanya Sebatas Cerita || Antologi Puisi Erlin Efrin)

 

            Iapun kembali ke kampungnya di Manggarai Timur. Ia melihat daerahnya tidak ada perubahan sama sekali. Jalan raya tetap sama, apalagi air bersih. Pokoknya tak ada perubahan, sejak ia 6 tahun merantau. Sudah berkali-kali pergantian kursi kepala daerah tetapi tetap sama. Tak ada yang peduli dengan kampungnya. “Kata orang berpolitik itu baik, tetapi apakah dengan kenyataan seperti ini, politik masih baik?” tanya Sumarto pada ayahnya. Sang ayah hanya tersenyum mendengar pertanyaan dari anaknya “Nak, politik itu baik, yang tidak baik itu orang yang menjalankan politik. Mereka suka mengumbar janji palsu demi mendapatkan kursi empuk.”


***


            Hati Sumarto mulai panas melihat sekolah SDnya dulu masih sama, beratapkan alang-alang dan berdinding gedhek bambu. Iapun dengan berani mendatangi rumah Kepala Desa. Ia melihat rumah Kepala Desa sudah berubah layaknya istana megah, di garasinya dua mobil dum truck terparkir rapi. Ia pun berkata kepada Bapak kepala desa “Bapak, apakah kita masih nyaman dengan keadaan ini?” tanya Sumarto. Bapak Kepala Desa, langsung berdiri pura-pura ada kesibukan yang lebih penting. Sumarto pulang dengan perasaan kecewa. Suaranya tak didengar. Jiwa aktivis mulai tumpah. Iapun mulai menyuarakan tentang pembanguan di daerahnya. Sumarto mulai menulis puisi, cerpen dan esai. Ia menulis puisi di halaman facebooknya diserta dengan dokumentasi keadaan jalan dan sekolah yang sangat mengkhwatirkan. Puisinya berjudul “Tuan Mati di Tanah Kami.”  Postingan itu dengan cepat menjadi viral. Ada sekian banyak komentar dari netizen. Ada yang mempertanyakan keberadaan Bupati, Camat dan Kepala Desa.

 

(Baca juga: Polemik Pendidikan Daring di Tengah Pandemi Covid-19)

 

            Sudah 3 hari postingan itu menjadi santapan empuk warganet, tanpa terkecuali pihak-pihak yang terkait. Ada yang menanggapi dengan santun ada juga yang secara bar-bar “Brow, kalau berani datang langsung ke pihak yang terkait” komentar salah satu akun facebook di postingannya. Tiba-tiba bunyi mobil rangger dan beberapa motor sampai ke telinga Sumarto. Ia melihat kendaran berplat merah tersebut berhenti di depan rumahnya. Sumarto mulai takut dan cemas. Bapak Camat dan Kepala Desa turun dari mobil itu. Mereka masuk ke rumah Sumarto dengan wajah yang beringas. 


***


Seorang POLPP berkata “Adik, bapak camat dan kepala desa mau bertemu denganmu berkaitan dengan postinganmu.” Sumarto dengan wajah takut menerima mereka. Bapak Camat membuka percakapan dengan sebuah pertanyaan “Adek, kira-kira apa substansi dari postinganmu? Engkau baru kemarin tamat sarjana tetapi engkau berani menulis itu di media sosial.”  Jiwa aktivis Sumarto mulai muncul, ia dengan gagah dan berani menjawabi setiap pertanyaan dari Bapak Camat dan Kepala Desa. “Bapak, apakah saya salah. Bapak-bapak sekalian sebagai penyalur suara kami. Coba bapak lihat, jalan dan sekolah itu masih sama seperti dulu. Tak ada perubah sama sekali” kata Sumarto dengan nada yang sopan.

 

(Baca juga: Cerita tentang Rindu; setelah Ia Pergi || Puisi Ocha)

 

            Bapak  Camat dan Kepala Desa pulang dengan menggendong dendam. Mereka sangat malu dengan apa yang dikatakan oleh Sumarto. “Ase, kau keras kepala sekali. Suatu saat kita pasti bertemu lagi” kata POLPP itu kepada Sumorto. “Mereka suka dipermalukan di depan wargenet, aku sudah datang baik-baik tetapi mereka tidak mendengarkan suaraku” cetus Sumarto dalam hatinya sambil melihat Bapak Camat menutup mobilnya. Seisi kampung menjadi heboh dengan kejadian itu. Mereka bangga dengan keberanian Sumarto. Sumarto lebih sering menulis puisi, esai dan cerpen terutama tentang ketidakadilan di kampungnya. Suaranya terus menggema diberbagai media online dan media cetak.  Hati Kepala Desa mulai membera. Ia sering mendatangi rumah Sumarto dan mencekik Sumarto dengan kata-kata yang mengancam. “Ase, tolong berhenti atau kami akan bertindak tegas.” Kata-kata itu tidak dapat mematikan darah dan semangat Sumarto.


***


 Ia semakin berani menulis dan bahkan ia membuat satu blog untuk kampungnya. Semua rintihan warga kampung dimuat dalam blog itu. Pihak-pihak yang terkait mulai waspada dengan keberadaan Sumarto. Mereka mulai pasang badan dengan membantah dan mulai membela diri. Satu persatu kontraktor untusan dari pihak yang terkait mulai mendatangi kampung Sumarto. Mereka mulai mengukur jalan dan memotret sekolah. Sumarto mulai senang, apalagi salah satu kontraktor itu berkata “Bulan depan jalan ini akan dihotmix.”

 

(Baca juga: Herlina Gadis Alfamart || Cerpen BD)

 

            Waktu terus berjalan dan bulanpun terus berganti tetapi tak ada tanda-tanda pembangunan. Rupanya itu hanya settingan belaka untuk membungkam suara Sumarto. “Inilah mereka yang sesungguhnya, suka bersandiwara di hadapan publik” kata Sumarto. Sumarto kembali bersuara setelah ia tidur berbulan-bulan karena janji palsu itu. Iapun dengan bernai menulis cerpen berjudul “Sandiwara Seorang Kades.” Sumarto nekad mengambil kampungnya sebagai latar tempat dalam tulisannya itu. Lalu tulisannya itu dimuat di media cetak dan online. Bapak Kepala Desa yang sedang asyik duduk di sofa ruang tamu, membaca tulisan itu. Ia sangat marah kepada Sumarto. Ia berteriak dengan nada tinggi “Makin menggila e ase.”


(Baca juga: Selamat Damai Paskah Ibu || Cerpen BD)

 

Selang beberapa jam Sumarto mendapat pesan dari nomor baru. Isi pesannya “Ase, engkau mulai menggila dan kami juga siap meladeni kegilaanmu. Tinggal pilih engkau tetap bersuara atau kami akan melenyapkanmu tanpa jejak.” Sumarto semakin takut dengan ancaman itu. tiba-tiba ia juga mendapat pesan WA dari nomor baru “Bro, bapakmu guru PNS di situ, engkau diam atau kami akan pindahkan dia ke sekolah yang jauh dan sangat terpencil. Pilihlah bro, yang bijak ya.” Setelah mendapatkan dua pesan itu, Sumarto menarik nafas panjang dan berkata dalam hati “Mending aku diam, daripada bapak menjadi korban.” Impian Sumarto untuk memajukan kampung telah sirna setelah suaranya dibungkam oleh otoritas yang beringas. Mimpinya mati bersama karya-karyanya setelah dicekik oleh ancaman yang sadis. Sampai kapanpun kampungku akan tetap mati jika pemimpin terus berhati mati.


Keterangan.

Ase: Bahasa Manggarai yang artinya Adik.

Post a Comment for "Sumarto dan Impiannya yang Dipaksa Mati || Cerpen BD"