Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bangkitnya Seorang Penyair || Cerpen Bung Donttel (BD)

 
(Dokpri Istimewa Bung Donttel)


Rinai hujan terus saja mengguyur bumi, sudah lima jam lebih hujan tak henti-henti menyapa bumi dengan penuh gesa-gesa. Hujan semakin lama, beban hidup semakin meningkat, tetapi intensinya malam itu cukup jelas, menyirami bumi yang sudah mulai kering. Bunyi seng spandek akibat hujan deras memecahkan kesunyian malam. Perempuan itu terus saja diam membisu. Ia duduk di teras di depan kosnya, sambil menatap tingkap-tingkap langit.  Tak ada bintang yang menari ria, sedangkan kabut tebal berhasil menguasai langit. Sama-sama seperti perempuan itu, masa lalu telah meringkuk hidupnya. Ia menatap dengan berbagai pertanyaan yang selalu melintasi benaknya. Tentu saja pertanyaan-pertanyaan tentang masa lalunya yang kelam. Dua minggu yang lalu lelaki itu pergi tanpa pamit dari kehidupannya. Tak ada alasan yang jelas selain meninggalkan pesan melalui whatsApp terhadap perempuan itu “Nona, hubungan kita berhenti sampai di sini saja.” Tentunya pesan ini membunuh sebagian hidupnya, apalagi ia telah memberikan dirinya sebagai bukti rasa cintanya. Perempuan itu sudah jatuh dalam kata-kata manis dari lelaki itu, bukti sayang tak harus sampai merebut daging dari setiap tubuh. Penyesalan terus datang menghantui kehidupannya. “Andai saja aku tahu dari awal laki-laki itu hanya mencelupkan nafsu dalam kata-kata omong kosong. Aku tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk bertahan dengannya” gumam Perempuan itu dalam hatinya.

 

(Baca juga: Oan Diak Ka Lae? || Puisi Fino De Carvalho)

 

            Perempuan itu terus saja memikirkan hal itu sambil menghakimi dirinya, ia menjadi perempuan yang mati dan tak berdaya di hadapan dunia. Setiap hari ia hanya berdiam diri di kamarnya. Kisah cinta menjadi semakin tak beraturan dan tangis teragis terus saja membuat ia murung, tak ada sedikitpun kebahagiaan dalam dirinya. Wajah cerianya sudah dihabisi oleh kenyataan. Semangat hidupnya sudah dilumati oleh rasa sesalnya. Pokoknya ia menjadi perempuan yang lemah dan selalu memikirkan tentang penyesalan. “Untuk apa aku hidup, masa depanku sudah direnggut oleh lelaki itu” Cetusnya sambil sesekali menoleh ke arah temannya yang sedang asyik nonton tiktok. Rasa-rasanya pendidikan tinggi yang ia telah raih tak mampu mengatasi persoalan hidupnya. Memang benar kata orang “Seni membunuh paling sadis adalah menyerang perasaannya, perlahan tapi pasti.” Hidupnya makin parah, tak ada yang peduli dengannya. Persoalan dengan lelaki itu merubah dan membunuh sebagian hidupnya. Apalagi ia sudah memberi kabar tentang lelaki itu pada keluarganya bahwa ketika lelaki itu selesai wisuda ia akan ke rumah untuk melamarnya.

 

(Baca juga: Cinta Pertama Kali Bersemi || Cerpen Pius Kanelmut)

 

            Perempuan itu mencoba untuk membangkitkan kembali hidupnya yang telah mati. Ia mulai aktif kembali menulis puisi dan cerpen dalam buku diarynya. Memang cukup diakui bahwa perempuan itu seorang penulis dan penyuka sastra. Apalagi ia menamatkan pendidikan bahasa dan sastra di kampus ternama di kota itu. Ia menumpahkan semua perasaan sesal dan garis luka ke dalam catatan lepas buku hariannya. Menulis puisi luka dan cerita resah adalah kebiasaan usai dia dipermainkan oleh cinta palsu laki-laki yang ia banggakan. Sudah ratusan puisi dan puluhan cerpen  yang telah ia tulis, tentunya semua tulisan itu bermuara pada perasaan lukanya. Ia mencoba membunuh lelaki itu melalui kata-kata puitisnya. Benar kata orang “Sesekali engkau menyakiti seorang penyair, maka habislah engkau dalam puisi-puisinya.” Rasa-rasanya cara itu cukup ampuh menyembuhkan lukanya. Setelah ia memikirkan lagi tentang itu, ia merasa tidak puas. Ia memikirkan kaumnya di luar sana yang selalu menjadi korban keangkuhan dari seorang laki-laki. Ia tidak mau kejadian yang sama terjadi pada kaumnya yang lain. Iapun menulis puisi di status akun facebooknya. Tidak sampai dua jam postingan itu menjadi trending, dua ribu lebih yang like dan sepuluh ribu lebih yang membagikan postingan itu.

 

(Baca juga: Semuanya Hilang || Cerpen BD)

 

Pada kolom komentar ada begitu banyak orang mengomentari dan memberikan apresiasi terhadap tulisannya. Salah satu komentar dari sesama kaumnya “Mantap Puan, bersuara terus. Salut.” Pada saat yang sama ada beberapa akun yang mencoba untuk membantah postingannya, tentu saja mereka itu adalah kaum laki-laki. Mereka mencoba untuk membela diri dari postingan yang mengatakan semua laki-laki sama, tak ada bedanya. Mereka membantah tidak semua laki-laki itu sama. “Berhenti untuk menggeneralisasi secara umum tentang laki-laki” tulis lelaki itu di akhir komentarnya. Setiap kali ia mengunggah puisi atau cerpen di status facebooknya selalu menjadi trending. Ia semakin viral. Banyak orang yang memberikan apresiasi dan dukungan terhadap karya-karyanya. Mereka sangat tertarik dengan pemilihan diksi yang menarik dan penuh makna. Mereka memberi label untuknya sebagai penyair muda.

 

(Baca juga: Pedagogi Kritis Henry Giroux dan Terang Kebangkitan Literasi di NTT)

 

Pada suatu kesempatan ia sedang duduk di depan meja di kamar kosnya. Ia sedang menulis puisi untuk diunggah di akun facebooknya. Iapun berinisiatif untuk membuat channel youtube musikalisasi puisi dan monolog. Pemilihan diksi yang menarik ditambah dengan suara yang khas menggugah hati banyak orang. Dalam benaknya ia selalu memikirkan tentang kaumnya yang selalu ditindas. Ia selalu menulis puisi atau cerpen yang berisi pembelaan hak kaumnya di hadapan laki-laki. Channel youtube musikalisasi puisinya selalu viral. Itulah caranya yang paling bijak untuk menyembuhkan lukanya sekaligus mengangkat martabat dari kaumnya. Perempuan bukanlah barang yang dipermainkan sesukanya. Ada banyak orang yang mengambil postingan videonya untuk dijadikan video tiktok. Kata-kata puitis dan penuh makna memotivasi dan membakar semangat juang dari kaumnya.

 

(Baca juga: Lelaki Menantinya di Tangga Unit Agustinus)

 

Kini perempuan itu menjadi seorang penyair hebat yang selalu diundang ke mana-mana untuk membawakan musikalisasi puisi. Perempuan itu layak menjadi Kartini masa kini. Ia berhasil membangkitkan kembali hidupnya yang dulu sebagiannya telah mati, selain itu ia juga membangkitkan martabat kaumnya dari dominasi kaum laki-laki. Memang cukup diakui menjadi perempuan sudah pasti ada di tepi tungku api dan sering-sering menghirup bau asap api. Di setiap tanda luka menjadi resah paling laris dan laki-laki menjadi pelaku paling licik, bahkan setiap tubuh yang mengalir darah resah berulang kali diteguk. Ini bukan soal siapa yang paling lemah dan siapa yang paling layak untuk dicatat di setiap buku lusuh. Tetap saja pesan yang dikirim ke mana-mana isinya selalu perempuan yang harus meneguk duka.

Post a Comment for "Bangkitnya Seorang Penyair || Cerpen Bung Donttel (BD)"