Surat Itu || Cerpen Fransisko Sadianto
(Sumber gambar: www.kompas.com)
Mentari
pagi menyapaku dari pelipit bukit. Kicauan burung terdengar merdu, ayam-ayam
berkokok membangunkan aku. Aku bangun dan membuka tirai jendela sambil menatap
ke ufuk timur, menikmati hangatnya mentari pagi. Aku berbalik dan melangkah ke
dapur, lalu menyalakan kompor dan menyiapkan sarapan pagi. Tak ada sayur dan
lauk. Sarapan pagiku hanya dibarengi secangkir kopi hitam tanpa gula. Kemudian
aku masuk ke ruang kerjaku. Ruang yang menyimpan banyak cerita tentang arti
hidup. Dalam ruangan itu terpampang cermin berukuran besar-kiri, kanan dan
atas. Sebuah kursi diletakan menghadap ke cermin itu. Di atas meja terdapat
sisir, gunting, silet, pembersih dan pelembab rambut. Itu adalah tempat
pemangkas rambut. Pekerjaan harianku yaitu memotong rambut warga kampungku.
(Baca juga: Digital Mengalienasi Manusia)
“Riko...bisakah kau
menggunting rambutku?" Tanya sahabat karibku,
Tomi
Ya pasti bisalah, aku
seorang sahabatmu pasti siap membantu untuk membuat rambutmu tertata rapi,
jawabku penuh kesiapan. Aku mau
mengunjungi pacarku setelah aku tampil keren berkat bantuanmu, lanjut
temanku bercerita.
Oohhh, bagus kalau
begitu ya, gak seperti aku yang jomblo. Aku sebetulnya suka sama seseorang,
tapi aku malu mengungkapkan perasaanku ini kepadanya.
“Namanya siapa, Ko?” Lanjut temanku itu bertanya. Kamu tak perlu tahu, ini urusan pribadiku, jawabku sambil memainkan dua mata gunting itu.
***
Tangan
kiriku begitu lincah memainkan gunting itu. Tangan kiriku melayani tanpa
berharap tuk disantuni. Ribuan helai rambut telah kupangkas. Hampir setiap hari
tempatku dipadati orang-orang. Andaikan
aku memungut biaya, mungkin aku sudah mendapatkan banyak uang. Tapi tidak. Aku
lebih suka melayani tanpa diberi imbalan. Itulah yang justru membuatku bahagia.
Sebab uang bukanlah segala-galanya. Aku percaya bahwa semakin aku beramal
dengan hati tulus, aku akan mendapatkan banyak berkat.
(Baca juga: Di Balik Senja || Puisi Reniana Oktora)
Tempatku hari ini terasa sepi, tak seperti biasanya. Aku pun mengangkat kursi dan meletakannya di depan pintu. Aku duduk sambil menikmati secangkir kopi pahit, andalanku. Tiba-tiba sebuah sepeda motor melintas di depanku sambil membunyikan klaksonnya. Aku mengangkat muka dan menatap ke arah motor itu. Dan dia adalah sahabatku yang baru saja aku rapikan rambutnya. Dia bersama seorang perempuan yang kukira pacarnya. Perempuan itu adalah perempuan idamanku yang selama ini kusuka. Aku cukup sakit hati dengan sikap sahabatku ini. Dia telah mengkhianati aku, merebut cewek idamanku. Tanpa kusadari aku memecahkan sebuah cermin besar dalam ruangan itu. Aku merasa kecewa. Dalam kekecewaanku aku menyadari bahwa hidup memang selalu ada rasa sakit-duka dan sedih. Aku menarik napas panjang sambil mengumpulkan pecahan kaca itu. Rasa sakit hati tak menyurutkan semangatku untuk terus melayani. Namun, lagi-lagi salonku terasa sepi. Semua ini terjadi karena covid 19. Aku pun memutuskan untuk beristirahat. Baru saja aku melangkah ke kamar tidur, aku mendengar suara yang mengetuk pintu. Aku langsung berbalik dan membukakan pintu. Aku cukup kaget melihat seorang gila datang dan meminta bantuan untuk memotong rambutnya.
***
“Riko... aku minta
tangan kirimu untuk memotong rambutku”, katanya
dengan nada yang sedih. Aku langsung menarik tangannya dan menyuruh untuk
masuk. Tanpa banyak bicara aku memotong rambutnya yang gimbal tak terawat itu. Hampir
satu jam aku menghabiskan waktu untuk memotong rambutnya. Cukup sulit karena
dia selalu bergerak dan tak bisa duduk dengan tenang. Aku hanya bersabar. Ini
adalah pengalaman pertamaku memotong
rambut orang gila. Usai rambutnya dipotong, dia langsung pergi tanpa pamit dan
tak tahu ke mana. Aku tak mengenalnya sebab dia selalu mengenakan masker super
besar. Aku cukup merasa senang dengan pengalaman hari ini. Melayani orang tanpa
pandang bulu. Setelah orang gila itu pergi aku sadar bahwa aku sebetulnya
sedang berbagi kasih.
(Baca juga: Cinta Bersemi Kembali || Cerpen Aldi Jemadut)
Beberapa
saat setelah orang gila itu pergi, seorang perempuan bermasker dan mengenakan
helm datang kepadaku.
“Iko, bisakah kau
membantu aku? Tanyanya. Memangnya untuk apa bu, aku balik bertanya kepadanya.
Aku mau, kau memotong
rambutku ini, Ko, sahutnya.
Sontak aku kaget. Sebab aku tak pernah memotong rambut perempuan. Perempuan itu membuka masker dan helmnya. Ternyata dia adalah cewek idamanku. Aku tak bisa berkata-kata menatap kemolekannya. Lembut suaranya membuatku tak berdaya dalam rasa yang tak seperti biasanya. Tapi aku sadar bahwa dia sudah ada yang punya, sahabat setiaku.
***
“Sialan, dia sudah ada yang punya,” kataku dalam hati. Perempuan berparas ayu itu langsung menarik tangan kiriku dan berkata: “aku suka”. Maksudnya? Tanyaku. Ya,,,aku suka dengan tangan kirimu yang telah begitu banyak melayani, termasuk ayahku yang telah lama menjadi orang gila karena ditinggal oleh ibuku. Ibuku pergi meninggalkan aku dan ayah tanpa ada kabar hingga kini. Sejak saat itu ayahku bertingkah aneh. Dia sering tertawa dan kadang-kadang berlari tanpa arah. Dari seorang dokter aku mengetahui bahwa dia mengalami gangguan jiwa. Namun aku tak tahu mengapa hari ini dia datang ke salonmu dan mengapa dia menghendaki rambutnya dipotong, lanjut perempuan itu bercerita. Dia kemudian memeluku erat dan berterima kasih kepadaku.. Dalam sekejap tubuhku terasa hangat. Rasa dingin yang mencekam menghilang. Tak pernah kubayangkan jika Tiara akan memelukku dengan begitu eratnya. Namun tak berakhir di situ. Tiara juga menyatakan cintanya kepadaku. Dan dia menjelaskan bahwa teman dekatku, Tomi, tak pernah berpacaran dengannya. Tomi sebetulnya berpacaran dengan temannya. Aku sungguh menyesal karena telah berprasangka buruk dengan Tomi, sahabat karibku. Bahagia bercampur rasa bersalah menyelimuti diriku. Bahagia karena aku bisa berpacaran dengan Tiara dan rasa bersalah terhadap Tomi.
***
Hari-hariku
terasa indah dan bahagia. Dunia seakan milik berdua. Aku bekerja dengan penuh
semangat melayani banyak orang. Namun, kebahagian itu sirnah ditelan kabar
bahwa ayahnya Tiara meninggal karena covid 19. Aku dan Tiara tak bisa berbuat
apa-apa. Hanya tangisan dan
air mata mengiringi kepergiannya. Tak sempat kumelihat wajahnya karena dia
langsung dimakamkan oleh tim penanganan covid di kampungku.
(Baca juga: Gerimis di Pelupuk Matamu || Puisi Sr. Marta Wullo, SSpS)
Aku dan Tiara kemudian berjalan menuju sebuah pondok tempat ayahnya beristirahat. Hanya sebuah surat yang kutemukan. Aku cukup kaget tatkala membaca sebuah tulisan; “aku bahagia rambutku telah tertata rapi. Semua karena pemuda itu. Tuhan pasti memberkatimu. Semoga kau bahagia dengan anakku. Hanya satu yang kuminta, jagalah putriku sampai akhir hayatmu". Membaca surat ini membuatku cukup tertegun. Di sudut pondok itu aku duduk sambil merenung tentang surat itu. Apakah dia yang menulis suratnya? Untuk siapakah dia menulis suratnya? Untuk aku ataukah orang lain? Tak ada yang tahu jawabannya. Tapi aku yakin bahwa akulah yang dimaksud karena hanya aku yang memotong rambutnya. Dan Tiara,anaknya adalah calon istriku. Dalam keheningan itu aku menarik tangan Tiara dan memeluknya. Kukecup keningnya dan kukatakan; “aku akan menjagamu sampai akhir hayatku.”
*Fransisko
Sadianto, mahasiswa STFT Widya Sasana, Malang.
Post a Comment for "Surat Itu || Cerpen Fransisko Sadianto"