Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Semuanya Hilang || Cerpen BD

(Sumber gambar: gaya.tempo.co)


Malam meringkus sepi di sudut yang paling sunyi. Tak ada yang berisik seakan bintang malam bersatu untuk pura-pura diam. Semuanya lenyap dibunuh oleh waktu. Jalan-jalan tinggal nyala lampu yang mungkin sebentar lagi akan padam. Hujan sepanjang hari membuat kabut meyulam panel besar di tikungan itu. Mending padam saja dari pada bertahan dengan cahaya yang kian redup.


Aku yang masih duduk di atas tumpukan batu peninggalan ayah mulai menghitung menit, kira-kira pada angka berapa lampu itu akan lenyap. Makin lama-lama lampu itu mulai menghilang dari pandanganku. Ia benar-benar pamit di saat aku belum puas menghitungnya. Andai saja ia sedikit bertahan lebih lama, pasti aku sanggup membawa kabar kepada ayah “Ayah, lampu padam, kira-kira pada menit yang sekian” imbuhku sambil mencari sandal yang sudah lari jauh dari kakiku.

 

(Baca juga: Hebat, Organisasi Daerah di Malang Dipimpin Perempuan)

 

Aku mulai berajak pergi dari tempat itu sambil menyalakan lampu senter dari Android OPPOA3s milik ayah. Belum berapa menit hpku sudah lowbat. Semuanya mati, semuanya padam. Tak ada yang berani menyalakan diri di saat malam mulai beringas. Tikungan itu menjadi tempat paling serem setelah ia berkali-kali meringkus nyawa para pengendara. Dengan bermodal filling, aku bisa sampai di teras rumah.


 Langkahku satu persatu menaiki anak tangga sambil menghitung. Tepat pada anak tangga ke-6 aku mulai waspada, sebab anak tangga yang ke-8 tidak ada. Anak tangga itu juga menjadi alasan mengapa ayah harus beranjak cepat dari dunia. Gara-gara lampu jalan tidak menyala ia bergegas dengan cepat tanpa melihat anak tangga yang sudah lapuk. Ia jatuh dan kepalanya mengenai tumpukan batu yang ia kumpul dua bulan yang lalu.

 

(Baca juga: Banalitas Puisi di Era Digital)

 

Aku sudah sampai di pintu rumah. Suara ibu terdengar sayup. Aku cepat-cepat meraih gagang pintu dan berlari menuju kamar ibu. Ternyata sakit asma ibu kambuh lagi. Aku mulai pasrah pada Tuhan. Ini tak adil, ayah pergi dengan cara yang kejam, sedangkan Engkau tinggalkan ibu seperti ini. Ada apa Tuhan? Jika aku ada salah, tolong beri tanda biar aku pergi ke pastor itu untuk mengakui sesal dan mohon ampun. Tiba-tiba ibu berkata dari balik selimutnya “Tiara, tolong ambilkan air hangat.”  Malam makin sunyi, sedangkan hati terus mengeluh dan mengaduh. “Mungkin Tuhan sudah mati untuk kami” celotehku yang kesekian kali.

 

(Baca juga: Wajib Kamu Tahu! Lima Keunggulan Suami Eksfrater)

 

Malam itu aku lalui dengan gundah, perasan tidak tenang selalu datang menghampiriku. Apalagi kalau aku melihat ibu yang terbaring kaku. Pada saat aku masih asyik duduk sambil bercerita dengan ibu, aku melihat foto ayah dengan lengan yang gagah. Air mataku tumpah, lenganmu terlalu cepat melapuk dari duniaku. Ibu yang melihat aku menetes air mata, ia mulai menggeserkan badannya, tangannya yang masih lemah mulai merangkul dengan lembut. Ia juga ikut menangis. Sambil menyaka air matanya ia berkata “Tira, dunia tak pernah menolak datangmu, teruslah berjuang.” Ibu mengusap dukaku dengan harapan. “Tuhan tak pernah mati untuk kita” lanjut ibu.

 

(Baca juga: Begadang dengan Mantan, Baikkah?

 

Penyakit asma yang dialami oleh ibu semakin parah. Obat dokter sudah tidak ampuh lagi. Ramun kampung sudah tak sanggup lagi menahan usia ibu. Tubuhnya sudah semakin lemah. Tangannya mulai kaku seakan tak ada lagi tenaga untuk menopang hidupnya. Aku mulai takut, jika semuanya benar-benar pergi. Tak ada lagi tempat untuk mengadu dan mengeluh.


 Ibu pamit dari pangkuanku tanpa meninggalkan kata-kata perpisahan. Semuanya telah hilang dan dunia terlalu cepat menguburkan mimpi dan harapanku.  Ayah telah pergi dan kini ibu juga harus pergi. Ini kejam Tuhan, mahabaikMu sudah leyap dari duniaku. SetiaP kali aku melihat foto ibu dan ayah, air mataku tumpah dari sudut duka yang paling kelam. Kini hanya Tuhan, tempat aku mengadu. Entahlah ia mendengar atau tidak. Intinya aku puas-puas mengadu tetang dunia yang kejam, hingga aku sadar ternyata Tuhan juga ikut pamit dari duniaku.

Post a Comment for "Semuanya Hilang || Cerpen BD"