Digital Mengalienasi Manusia
(Sumber gambar: ekonomi.kompas.com)
Oleh: Maurinus Reymino Naban
Mahasiswa STFT Widya Sasana, Malang
Dunia terus berkembang. Perkembangannya itu
ditandai dengan kemajuan teknologi informasi yang semakin canggih. Hal itu tampak dalam
perkembangan fitur-fitur media sosial-seperti facebook, instagram, whatsApp,
Twitter dan berbagai aplikasi lainnya yang semakin maju. Kemajuan itu pun
menarik banyak orang untuk mengakses media sosial. Tidaklah mengherankan
apabila setiap tahun jumlah pengguna media sosial semakin meningkat.
Melalui media sosial, orang dapat dengan mudah saling berkomunikasi. Aktivitas komunikasi adalah aktivitas khas milik manusia. Manusia selalu berkomunikasi dengan sesamanya, sebab aktivitas ini menjadi kebutuhan mendasar. Dikatakan demikian, karena manusia berada atau selalu berelasi dengan sesamanya. Dalam melakukan komunikasi ini, manusia harus memperhatikan etika atau kaidah-kaidah yang berlaku. Etika komunikasi tidak lain adalah nilai moral. Nilai yang menutut manusia untuk bertindak atau berkomunikasi dengan baik, benar, dan jujur. Namun, ironis bahwa dalam kehidupan sehari-hari, manusia juga jatuh pada tindakan dehumanisasi. Tindakan yang tidak mencirikan identitas manusia sebagai makhluk yang bermoral. Hal ini tampak dalam fenomena hoaks.
(Baca
juga: Pedagogi Kritis Henry Giroux dan Terang Kebangkitan Literasi di NTT)
Hoaks adalah
kebohongan yang terencana untuk mengecoh dan menipu orang. Dalam perspektif
etika agama dan etika ilmu pengetahuan hoaks masuk dalam kejahatan. Kejahatan
yang ditimbulkannya adalah terciptanya konflik dan peperangan antara kelompok
sosial. Hoaks atau berita kebohongan bertujuan untuk menjatuhkan atau merugikan
orang lain.
Akhir-akhir ini, hoaks membanjiri media komunikasi Indonesia. Media komunikasi entah yang cetak, entah yang online memuat berita yang bertemakan hoaks. Fenomena ini terjadi karena adanya orientansi dari kelompok atau golongan tertentu. Orientasi yang tidak sehat; misalnya untuk menjatuhkan orang lain. Padahal sebenarnya media komunikasi bertujuan untuk menyampaikan kebenaran. Tapi letak kesalahannya bukan pada media, melainkan pada pihak yang tidak menggunakan kebebasannya dengan bijaksana. Mereka memahami kebebasan serampangan. Akibatnya mereka berekspresi sesuka hati tanpa mempertimbangakan etika. Memang, setiap manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan apa saja, tetapi yang perlu diketahui bahwa kebebasan itu harus terarah pada kebaikan bersama (bonum commune).
(Baca juga: Di Balik Senja || Puisi Reniana Oktora)
Kebebasan berekspresi secara
serampangan itu acap kali kita temukan di media sosial. Dalam media sosial ini
manusia seringkali memposting banyak hal yang bertentangan dengan nilai etika. Hal ini tampak ketika kebenaran dimanupulasi secara
sempurna oleh teknologi. Kebenaran kehilanagan makna sebagai sesuatu yang
dijunjung tinggi. Etika kebenaran tidak mendarat pada dinamika kehidupan
manusia. Dan pada akhirnya terjadi ke-chaos-an kebenaran. Kekacauan itu mencakup seluruh tatanan
kehidupan manusia.
Komunikasi dalam dunia digital dilihat sebagai tanda
yang menunjukan bahwa manusia adalah mahkluk sosial. Dimensi khas yang menjadi
milik manusia ini harus didasarkan pada nilai etis. Nilai etis menjadi atribut
dasar dalam berelasi dengan yang lain. Itu berarti dalam relasi dengan sesama,
manusia mestinya saling
menghormati.
(Baca
juga: Polemik Pendidikan Daring di Tengah Pandemi Covid-19)
Budaya
saling menghormati akan tumbuh
subur apabila manusia bertanggung jawab dalam mengungkapkan kebebasannya. Kebebasan yang
bertanggung jawab ini mestinya nyata dalam berekspresi;
entah dalam bentuk tulisan, gambar ataupun video. Apalagi
ketika semuanya itu diekspos di media sosial, seperti Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp dan sejenisnya. Hal ini
sangat penting untuk dilakukan agar kerukunan dan kedamaian di masyarakat dapat
terwujud.
Perlu
disadari bahwa sejatinya media sosial seperti
yang telah disebutkan di atas dirancang
untuk memberikan sumbangan positif bagi hidup manusia. Dalam media sosial ada
banyak hal konstuktif yang dapat dilakukan, seperti mengembangkan kreativitas, menggali potensi dan
mengaktualisasinya. Singkatnya Media sosial harus menjadi tempat yang menawarkan nilai-nilai
kehidupan (nilai edukatif, kreatif, inovatif).
(Baca juga: Kabar BeritaSerah Terima kepengurusan Paguyuban Fratres SVD Manggarai)
Dalam kaitannya dengan fenomena hoaks di media sosial,
jelaslah bagi kita bahwa hoaks adalah salah satu jenis kejahatan. Hoaks pada dasarnya tidak memilik maksud dan tujuan
yang baik, walaupun dengan alasan penegasan akan kebebasan setiap individu.
Ruang kebebasan individu harus didasarkan pada nilai tanggungjawab. Dikatakan
demikian,
karena kebebasan itu selalu berhubungan dengan kepentingan orang lain. Tidak
dibenarkan jika kita menjunjung tinggi kebebasan hanya untuk kepentingan diri
kita sendiri. Kebebasan setiap orang
selalu berhubungan dengan dimensi komunal (bonum
commune). Dimensi
komunal ini berlandaskan kerja sama yang terjalin di antara manusia. jika kerja
sama dapat terhubung dengan baik, maka hoaks pasti tak akan tercipta.
Oleh karena itu, sebenarnya Semua elemen harus
terlibat dalam memajukan kesadaran bagi setiap pengguna media sosial. Ada
beberapa elemen penting yang dapat menciptakan kejujuran dalam bersosial media.
Pertama, pemerintah perlu memantau
setiap pergerakan para pengguna media sosial. Sejauh ini, pemerintah telah
bekerja sama dengan dengan negara lain dalam melakukan filterisasi
fenomena-fenomena yang masuk dalam media sosial. Aturannya pun jelas. Semua
pelanggar dan penyalahguna media sosial akan dikenai sanksi yang tegas. Kedua, pihak sekolah. Sekolah sebagai wadah dan penunjang kesadaran
manusia perlu melakukan sosialisasi terus menerus mengenai pentingnya etika
dalam bersosial media.
(Baca
juga: Cara Melupakan Mantan)
Ketiga, pihak keluarga. Keluarga merupakan organisasi pertama dan utama dalam melakukan sosialisasi terkait dengan etika komunikasi dalam media sosial. Para orangtua sebaiknya membimbing dan menuntun anak-anak mereka agar menggunakan media sosial secara bijak. Terakhir, setiap orang atau setiap pengguna mesti memiliki kesadaran akan pentingnya etika bukan hanya dalam komunikasi harian melainkan juga komunikasi yang terjadi dalam media sosial. Selain itu, bagi para pengguna media sosial mestinya perlu memiliki sikap kritis dan selektif dalam menerima setiap informasi yang disajikan dalam media sosial. Sikap kritis dan selektif penting karena begitu banyak informasi yang dibeberkan secara bebas dan sengaja dalam media sosial. Pada akhirnya apabila setiap elemen bertanggungjawab terhadap peran dan fungsinya masing-masing, maka hoaks akan semakin diminimalisir dan berkembangnya etika dalam penggunaan media sosial.
Post a Comment for "Digital Mengalienasi Manusia"