Cinta Pertama Kali Bersemi || Cerpen Pius Kanelmut
(Dokpri istimewa Pius Kanelmut)
“Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku
akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia… Kata manusia itu: Inilah
dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia
akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.” (Kej. 2:18, 23)
Menjelang detik-detik akhir masa liburan, pikiranku
telah dibawah jauh ke halaman sekolah. Saat itu hasratku penuh dengan keinginan untuk segera mengalaminya.
Aku selalu membayangkan pengalaman-pengalaman indah yang nantinya bakal dialami.
Membayangkan kebersamaan dalam nuansa persahabatan yang tiba-tiba saling
tertawa karena lucu. Atau membuat skenario untuk memperdaya guru yang tiba-tiba
menjadi galak ketika kedapatan sedang mengantuk di kelas. Semuanya dipikirkan,
sampai tak sadar kalau hari kian berlalu.
(Baca juga: Pastor dan Sahabat Pemabuknya- Nerapost)
Setiap pagi, aku selalu duduk di halaman rumah dan
menunggu matahari untuk terbenam. Demikian kala malam menjelang, aku selalu
berharap agar matahari pagi cepat menyambut semesta. Biar hari berganti begitu
cepatnya dan aku tidak lelah dalam menunggu. Dan waktupun berjalan
dengan cepatnya.
Saatnya aku dibawa masuk ke halaman sekolah. Tempat aku menanam jejak dan tapak
di setiap titik-titik strategis di sekolah. Di sinilah cerita itu berawal, di halaman
sekolah.
***
Hari-hari pertama memasuki halaman sekolah, keengganan
untuk melangkah hampir menguasai seluruh diriku. Ada perasaan malu dalam
melewati barisan demi barisan yang tengah asyik membagi cerita. Akan tetapi,
hasrat untuk keluar dari perasaan keengganan itu bertumbuh semakin kuat. Hingga
akhirnya aku menang atas keengganan. Dan kalah dalam rasa malu.
Di tengah keberanianku saat menyusuri halaman sekolah,
aku sempat menaruh perhatian pada seseorang yang saat itu sedang berdiri anggun
di samping tiang bendera. Tampaknya dia berbeda dari yang lain. Dia memiliki
aura yang mampu memikat perhatian setiap mata yang memandangnya.
(Baca juga: Semuanya Hilang || Cerpen BD)
Jujur saja, sejak saat itu aku selalu membayanginya.
Membayangi senyumnya di tengah kebersamaan. Atau sekedar membayangi tatapannya
dari balik tiang bendera, yang tiba-tiba tersenyum memberikan aku harapan
lebih.
***
Membayanginya membuatku tiba-tiba menjadi senang atau tiba-tiba
menerawang jauh dari kedekatan, lalu tersipu di balik senyuman. Karena dia, aku
seolah-olah tidak memiliki kesibukan lain selain memikirkannya. Dialah alasan
dari setiap kemungkinan yang terjadi padaku. Dari pada selesai dipikirkan, aku
pun berusaha mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan perasaanku kepadanya.
Setelah sekian lama, keberanianku akhirnya mencapai puncaknya. Walau lewat
kertas kecil, itu cukup untukku.
Untuk
Karista
Hai,
Karista. Apa kabar? Semoga baik. Hari ini ada yang mau bertanya Karista,
tentang kamu. Kira-kira mengapa kamu berbeda dari yang lain? Gerakan bola
matamu, cara kamu membagi senyuman, sikap kamu dalam berpendapat dan semua yang
ada padamu berbeda dari yang lain dan semua itu menjadi khas milikmu. Bagiku, kamu
adalah rasa aman yang aku butuhkan dan suasana damai yang aku temukan. Aku tidak tahu harus
omong apa Karista.
Karena
aku suka kamu. Aku ingin memilikimu. Apakah aku salah? Jangan lupa dibalas, ya?
Yose
(Baca juga: Hebat, Organisasi Daerah di Malang Dipimpin Perempuan)
“Jika Karista bersedia
untuk saling memiliki, aku akan mengajaknya mendaki gunung. Di atas puncaknya
kami duduk berdampingan - aku di sebelah kiri dia di sebelah kanan - lalu memandang
bumi dari ketinggian sambil tukar pelukan. Biarkan sepoi angin menjadi teman
setia untuk bersaksi bahwa dua anak manusia sedang bahagia. Semoga Karista menerima
cintaku. Tolong berdoa ya, semesta, agar Karista mengatakan ya dalam surat balasannya.”
***
Tetapi,
bagaimana kalau Karista menolak untuk dimiliki? Tanya itu mengundangku berdiam
diri dan berpikir sejenak.
“Jika Karista
menolakku, aku akan mengatakan kepadanya, selamat hari tipu Karista? Sebenarnya
aku hanya mau mencobamu. Kira-kira sejauh mana seorang Karista bertahan dalam
pendirian? Dan bermaksut untuk mengukur sebesar apa Karista tegas dalam
berkomitmen. Itu saja.” Begitulah pikirku saat suratku belum mendapat balasan
dari Karista, sang gadis yang berdiri di samping tiang bendera kala itu.
(Baca juga: Adnyana Akas || Cerpen Herwin Ndama)
Keesokan harinya,
aku mendapat surat balasan darinya. Surat itu benar-benar rahasia. Tidak
seorang pun yang mengetahuinya selain aku dan Karista. Surat itu aku buka sampai
aku merasa benar-benar berada seorang diri. Aku hampir tak sanggup membukanya
saat itu. Tangan mulai gemetaran. Keringat dingin mulai bercucuran. Detak
jantung pun mulai tak karuan. Aku berjuang mengumpulkan tenaga setelah beberapa
menit berdiam diri tanpa suara.
Untuk Yose
Suratmu telah kubaca
sebelum matahari meninggalkan bumi sore tadi. Biasan cahaya keemasannya dari
ufuk barat masih terjangkau oleh bola mataku. Dan saat itu aku benar-benar mengakui bahwa aku apresiasi atas
keberanianmu. Dari suratmu aku menemukan kalau engkau adalah seorang lelaki
yang tegas terhadap perasaan dan berani memperjuangkan ketulusan. Dari suratmu juga, aku merasa benar-benar
istimewa di matamu. Gadis siapa yang tidak senang dan menangis terharu bila
mendapat pujian dari seorang lelaki sepertimu? Oh, ya, Yose aku sebenarnya
memiliki perasaan yang sama denganmu. Sebelumnya aku telah menulis surat
untukmu. Tetapi justru suratmu lebih dulu sampai di tanganku. Rupanya perasaan
cinta di antara kita bukan sebuah kebetulan. Mungkin ini yang namanya takdir. Aku
menerimamu dan bersedia
menemanimu untuk saling memiliki dalam situasi apapun. I Love U.
Salam, Karista.
Membaca surat dari Karista membuatku merasa seperti orang paling bahagia
di bumi ini. Sulit
digambarkan dengan kata-kata biasa tentang perasaanku. Kalau ada kata yang
maknanya lebih tinggi dan lebih romantis dari kata bahagia, kata itulah yang
menggambarkan perasaanku setelah membaca surat itu.
***
“Selamat siang Karista, apa kabar?”
Sapaku membuka percakapan setelah
lama berdiam dan hening.
“Siang juga Yose” balas Karista sambil menebar senyuman.
“Aku bahagia sekali sejak menerima suratmu. Walau awalnya sempat ragu, tetapi keyakinan hati yang memberanikan diri untuk membuat keputusan. Dan ternyata yang datang dari hati itu memang selalu memberikan kesejukan. Terima kasih ya, ternyata keputusanku diarahkan kepada orang yang tanpa kusadari kalau aku sangat membutuhkannya. Mulai sekarang aku selalu minta kepada Tuhan agar selalu dikuatkan rasa saling percaya, rasa sabar dan rasa syukur dibanyakin.” lanjut Karista dengan penuh keberanian.
Aku tidak tahu
harus memberi kesaksian apa setelah menerima surat balasannya. Tetapi satu yang
pasti bahwa aku sangat mencintainya. Ingin rasanya untuk segera bertemu orang
tuanya dan mengatakan kesediaanku untuk mengapdikan diri kepada Karista
selama-lamanya. Namun, aku sadar kalau waktunya masih terlalu dini untuk
keputusan seperti itu.
(Baca juga: Banalitas Puisi di Era Digital)
“Karista, kamu
tahu kalau aku menyayangimu. Bagiku, kamu itu istimewa. Tetapi untuk saat ini,
aku tidak punya apa-apa untukmu, untuk membuktikan semuanya. Aku berjanji akan
berjuang semampuku. Biar kamu tahu kalau aku seorang pejuang demi kamu yang aku
butuhkan dalam hidupku. Namun, jika satu saat kamu terpaksa diambil dariku dan
bersanding dengan harta orang-orang kaya, aku akan pergi sejauh mungkin. Di
sana aku akan tinggal dan menunggu mati sambil mendoakan kebahagiaanmu.”
***
“Yose, beri kita
ruang untuk sama-sama berjuang.”
“Kamu bijak
sekali Karista dan kuat dalam pendirian. Tapi, aku sebenarnya rapuh. Ketika kamu
menyatu denganku, kamu itu ibarat dahan yang menopang pepohonan dari terjangnya
badai dan seperti tanah yang di atasnya aku berjejak dan hidup. Biar kamu tahu
bahwa ketika kehilanganmu aku tidak bisa hidup.”
Tanpa kusadari mulut Karista telah
kembali dari keningku. Rupanya
telepati bergerak lebih cepat dari suara permintaan. Rasa hangat pada tubuhnya
memberikan aku kesadaran bahwa inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari
dagingku. Ia akan menjadi milikku untuk lamanya. Keberaniannya
membuatku takut untuk melupaknnya. Aku berjanji tidak akan membiarkan orang mengambilnya
dari hidupku. Mulai sekarang aku akan mempertaruhkan seluruh keberanian dan
kebahagiaanku untuk Karista.
Pius Kanelmut, mahasiswa STFT Widya Sasana, Malang.
Post a Comment for "Cinta Pertama Kali Bersemi || Cerpen Pius Kanelmut"