Banalitas Puisi di Era Digital
(Dokpri Bung Donttel)
Salah
satu bentuk sastra yang paling populer dan sangat digemari dewasa ini adalah
puisi. Puisi merupakan bentuk tulisan bebas yang lahir sebagai bentuk ekspresi
dan gagasan Penulis yang diolah sedemikian rupa membentuk rangkaian bahasa yang
estetis dan menggugah peminat pembaca. Puisi menuntut satu
sikap reflektif yang intim dan mendalam dari seorang penyair untuk melahirkan
dan menumbuhkan kebermaknaan puisi di dalam dirinya. Tanpa sikap reflektif yang
intim, puisi hanya akan menjadi tulisan yang dibangun di atas keindahan bahasa
dengan penyampaian pesan moral dan edukasi yang kabur. Kedua hal ini, pesan
moral dan edukasi sudah seharusnya hadir dalam seluruh ketubuhan sebuah puisi
dengan interpretasi obyektif publik pembaca. Penyampaian pesan moral dan
edukasi tidak boleh dikesampingkan oleh penyair. Pemilihan diksi yang menarik
dalam puisi tentunya sangat penting untuk membangkitkan daya tarik lebih dan menggugah
publik pembaca.
(Baca
juga: Skripsi Gagal Terus, Inilah Penyebabnya)
Seiring perkembangan zaman, puisi juga
mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Dulu orang sangat susah sekali
untuk membaca karya-karya sastra tetapi sekarang orang semakin bebas dan cepat
membaca karya sastra berupa puisi melalui media massa online. Bahkan di era
digital ini minat orang untuk membaca puisi dalam bentuk buku sangat rendah.
Banyak orang lebih suka membaca puisi melalui internet dengan alasan mudah dan
cepat diakses. Selain mudah dan cepat diakses membaca puisi dari internet
sedikit murah, orang hanya mengunduh PDF
buku puisi tanpa harus membeli buku dengan harga yang cukup mahal.
Perkembangan puisi di era digital ini tentunya membawa dampak buruk bagi dunia puisi. Puisi mengalami peleburan konsep dan kehilangan jati dirinya. Puisi mengalami banalitas atau pergeseran yang jauh dari kode etik yang sesungguhnya. Ada banyak hal dalam puisi yang bergeser ke luar jalur yang sesungguhnya. Banyak orang menulis puisi (penulis pemula) tidak melihat lagi unsur-unsur penting yang membangun sebuah karya puisi seperti unsur instrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung membangun karya sastra, unsur yang secara faktual akan segera dijumpai oleh pembaca. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra (dictio.id, 03/05/2018). Unsur ekstrinsik sangat mempengaruhi bangunan kisah sebuah karya sastra, namun ia sendiri tidak secara langsung ikut menjadi bagian di dalam sistem organismenya. Namun demikian unsur ekstrinsik sangat berpengaruh terhadap totalitas bangunan kisah yang dihasilkan.
(Baca juga: Etika Komunikasi bagi Pengguna Facebook)
Hemat
penulis banalitas puisi di era digital disebabkan oleh penyair tidak lagi
melihat kedua unsur penting tersebut. Mereka lebih menjadikan puisi sebagai
ungkapan atau luapan hati semata. Misalnya sedang jatuh cinta ataupun sedang
galau. Mereka menulis puisi tersebut dan mengirimnya ke media-media online. Parahnya
lagi media-media online tanpa jeli melihat kebermaknaan puisi yang masuk ke
meja editor. Mereka mempublikasikan puisi-puisi tersebut hanya untuk
mengapresiasi sekaligus mengejar views.
Sehingga lebih jauh tulisan yang di muat tidak berkualitas serta tidak memiliki
pesan moral untuk pembaca. Efeknya dari publikasi tulisan tersebut membuat
mereka semakin getol menulis puisi hanya untuk mengekspresikan situasi batin.
Sehingga kecenderungan ini menyebabkan banyak orang tidak peduli lagi dengan
realitas sosial yang ada. Bisa dikatakan mereka akan menjadi apatis dengan
situasi sosial. Mereka tidak lagi menulis tentang ketidakadilan, diskriminasi, budaya,
dll.
Hemat
penulis, polemik ini perlu mendapat perhatian yang serius dari banyak orang
terutama pegiat sastra. Pertama, menulis
puisi bukan hanya sekadar mengungkapkan situasi batin seperti perasaan jatuh
cinta atau galau tetapi lebih jauh lagi mengungkapan realitas sosial yang
terjadi tentunya tidak terlepas dari ke dua unsur penting di atas. Para pegiat
sastra juga tentunya sangat diharapkan untuk memperhatikan situasi sosial.
Mereka bisa juga dikatakan sebagai penyalur aspirasi masyarakat dan mengkritisi
situasi ketidakadilan dalam puisi-puisi yang mereka tulis.
(Baca
juga: Surat Itu || Cerpen Fransisko Sadianto)
Kedua, media-media online juga perlu menyeleksi ketat setiap naskah puisi yang masuk ke meja redaksi. Di sini peran editor dari media sangatlah penting. Menerbitkan puisi bukan banyak mengejar views dan klik tetapi juga perlu melihat makna dari tulisan itu untuk kehidupan sosial. Sehingga kualitas dan mutu puisi yang dipublikasikan sangat layak untuk pembaca. Ketiga, literasi sastra di era digital di setiap jenjang pendidikan perlu mendapat perhatian serius dari banyak pihak. Pendidik dan orang tua perlu secara khusus mendampingi para siswa yang memiliki minat dalam sastra serta mengajak para siswa untuk rajin membaca buku yang berkaitan dengan sastra. Sedangkan pemerintah perlu memperhatikan fasilitas sekolah yang nyaman untuk para siswa. Sehingga siswa akan lebih nyaman dan betah untuk belajar sastra dengan demikian para siswa juga mampu menuliskan karya sastra yang berkualitas.
🔥🔥 sangat reflektif bagi para pecinta sastra terutama yang hobi menulis dan membaca puisi 😊
ReplyDeleteIya benar kak. Di era digital puisi mengalami kehilangan jati diri. Banyak orang yang menulis hnya untuk mengekspresikan batin, mis; saat jatuh cinta ataupun galau. Sehingga daya kritis terhdap situasi sosial sangat rendah. pada kita juga sama-sama memiliki peran untuk melihat tatanan sosial yang kacau, sperti ketidakadilan, diskriminasi,ras, budaya, dll.
DeleteTerima kasih atas tulisan yang bermakna ini. Saya bukan orang sastra, tapi saya suka untuk mengekspresikan situasi diri saya melalui tulisan. Karena itu, saya ingin berkomentar terkait beberqpa point yang telah disinggung penulis. Pertama, saya sepakat dgn penulis yg mengatakan bahwa puisi saat ini mengalami pergeseran makna. Namun saya tidak setuju dgn pernyataan penulis yang mengatakan bahwa puisi pertama2 bukan sekedar mediasi untuk mengatakan situasi batin semata. Saya justru melihat puisi dari sisi seperti ini. Puisi itu bahasa jiwa. Yang terkatakan, tapi tidak terucapkan. Terkait unsur2 puisi, setahu saya, puisi itu lebih kaya dan bervariasi. Puisi kaya akan unsur dan variasinya. Contoh saja, Saya pernah membaca sebuah puisi (lupa penulisnya) yang hanya berisi satu kata, 'pun'. Kalau kita hanya berpatokan pada unsur2 yg disebutkan penulis, maka puisi ini akan tidak layak untuk dipublish. Namun kemudian, ketika penulis puisi ini ditanya terkait makna puisinya, ia menjelaskannya dari sudut pandangnya sendiri. Satu hal yg berkesan ia sampaikan, bahwa puisi itu adalah jiwa yang bersuara. Jadi apa yang ditulis adalah bahasa jiwa penulis sedangkan apa yang dipahami pembaca adalah hasil tafsirannya sendiri yqng terkadang berbeda dgn maksud penulis. Jadi, puisi itu srbenarnya bebas, ia lebih kaya dan beragam. Kemudian, penulis sempat singgung soal tema ywng seting kali diangkat, lebih dominan soal percintaan, drpd bergelut di dunia politik, ekonomi dll. Menurut saya ini hak dan bakat setiap penulis yang tidak dapat dipaksakan orang lain. Toh semuanya sama. Begitu jg yg bergelut di dunia politik, tidak akan dipaksakan untuk menuis puisi ttg cinta.
ReplyDelete