Adnyana Akas || Cerpen Herwin Ndama
(Sumber gambar: Faltsaqafah.id)
Cahaya rembulan malam menembusi tirai dan menerangi sebagian kamarku. Lampu kamar yang semakin redup itu, berpasrah di bawah gerangnya terang rembulan yang menggelora memancarkan sinar. Ketenangan dan kenyamanan pun semakin menguasai diriku. Akupun tak ingin melewatkan kesempatan itu. Aku mengambil tempat yang nyaman di kamar untuk menikmati cahaya rembulan dan suasana yang tak pernah aku rasakan.
Berprofesi sebagai perawat bukanlah hal yang mudah
apalagi pada saat pandemi Covid-19 yang semakin merajalela. Kesibukkan
pun semakin tinggi dan tak ada waktu untuk bisa berhenti sejenak menikmati
suasana yang seperti aku rasakan di malam yang indah itu. Aku duduk dan berdiam
diri, merasakan sentuhan cahaya rembulan. Sentuhan itu menarik aku untuk
kembali membuka album kehidupanku bersama ayah.
(Baca juga: Banalitas Puisi di Era Digital)
Aku putra tunggal di keluargaku. Aku dibesarkan oleh
ayahku dalam kesederhanaan. Semenjak kepergian ibu sepuluh tahun silam, aku tak
pernah lagi merasa belaian kasihnya. Kini aku menghabiskan waktu bersama ayah
dalam kesederhanaan. Suasana kesederhanaan membuatku harus berjuang untuk
bertahan hidup. Berjuang tanpa seorang ibu dalam hidup berkeluarga tidaklah
mudah. Pengalaman inilah yang menjadikan aku pribadi yang tangguh dan bisa
berdiri hingga saat ini. Ini bukanlah suatu kebetulan mengapa aku bisa bertahan
hingga detik ini. Arti nama yang diberikan oleh Almarhum ibuku, itulah
yang menguatkan aku. Aku baru ingat lima
tahun yang lalu, ayah menceriterakan arti namaku. Dahulu, ketika aku masih di
dalam kandungan, ibuku telah menyiapkan nama yang terbaik untukku. “Adnyana
Akas” inilah nama yang diberikan ibu untukku. Nama ini bukan hanya sekedar
nama, tapi mempunyai arti yang sangat mendalam. Ayahku menerjemahkan namaku
dari bahasa Bali, Adnyana yang artinya cahaya dan Akas yang artinya
besar dan kuat. Berangkat dari nama inilah akupun bisa bertahan.
Air mataku tak terbendung ketika aku mengingat kembali
ceritra ayah mengenai arti namaku. Aku
membiarkan air mataku membasahi pipi yang tak lagi merasakan ciuman kasih dari
sang ibu yang selalu aku rindukan. Akankah aku memperolehnya kembali? Entahlah.
Semua hanyalah angan-anganku dan hal itu mustahil untuk bisa ku peroleh.
(Baca juga: Skripsi Gagal Terus, Inilah Penyebabnya)
Hidup sederhana sudah aku jalani. Berbagai pekerjaan
kasar telah aku geluti untuk menafkahi diriku dan ayah. Aku terpaksa melakukan
semuanya. Aku tidak bisa mengharapkan ayahku yang waktu itu terserang penyakit
kanker. Meskipun ia mengidap penyakit yang mematikan ini, ia terus bekerja
sebagai buruh kasar. Inilah yang aku banggakan dari ayah.
Kepribadianku tidak terlepas dari kepribadian ayah.
Semangat, kerja keras,dan kesetiaannya menjiwai diriku. Aku menjadi manusia
yang berguna karena ayah.
Tahun demi tahun usiaku semakin bertambah. Aku
bertumbuh menjadi pribadi yang dewasa. Segala sesuatu aku pertimbangkan
termasuk masa depan, mengingat ayahku yang tak muda lagi. Saat itu, aku
berusaha untuk meraih apa yang aku impikan. Berbagai cara aku lakukan untuk
memperoleh gelar Sarjana.
(Baca juga: Etika Komunikasi bagi Pengguna Facebook)
Pepatah mengatakan hasil tidak akan mengkhianati
usaha. Inilah yang aku alami ketika aku sukses meraih gelar sarjana itu. Dan
yang paling aku banggakan dalam hidupku ketika meraih gelar sarjana kesehatan.
Gelar inilah yang aku nantikan selama belasan tahun.
Ayahku yang saat itu menghabiskan masa tuanya di panti
jompo, sungguh tak percaya akan keberhasilan anaknya yang selama ini tak
berarti apa-apa di mata semua orang. Dia begitu bangga dengan pencapaianku
sekarang ini. Untuk pertama kalinya aku melihat ayah menangis. Aku begitu
terharu melihat ayah meneteskan air mata. Selama aku bersama ayah, tak pernah
aku melihat suasana yang demikian. Aku terhanyut oleh suasana yang bagiku
sangat aneh. Dalam kebahagiaan itu, aku dan ayah berpelukan melepas rindu yang
selama ini terpendam dalam hati.
Hari itu
menjadi hari yang terindah bagiku. Hari, di mana aku kembali bernostalgia
bersama ayah sekaligus ibu bagiku. Album kehidupanku bersamanya kini dibuka
kembali. Canda dan tawa aku temukan lagi dari laki-laki tua itu. Raut wajahnya
yang semakin tua tak melunturkan senyumannya yang tulus. Ingin sekali rasanya
untuk selalu bersama ayah, merasakan hangatnya pangkuan, lembutnya belaian
tangan yang semakin menua. Aku ingin mengulangi kembali semua hal indah yang
telah aku alami. Tapi itu mustahil untuk didapatkan kembali. Biarlah semua
pengalaman itu menjadi kenangan yang indah dan harta berharga dalam hidup kami
yang tak akan pernah dilupakan.
Waktu terlalu singkat bagi kami untuk mengenang masa
indah yang telah kami rajut bersama. Kini aku harus pergi. Entah ke mana kaki
melangkah membawa raga yang rapuh ini. Ini adalah keputusan yang berat bagi
diriku dan bagi ayah. Namun, semua ini tetap akan aku lakukan, demi mimpi yang
telah kupercayai dan ia percayakan kepadaku.
(Baca juga: Gadis tanpa Nama || Cerpen Ayu Alexandra)
Seminggu setelah kejadian penuh kenangan itu, kini aku
telah melamar perkerjaan di rumah sakit di luar kota. Tugasku cukup sederhana
namun sangat berisiko bagi diriku sendiri dan orang-orang terdekatku. Ya aku
ditugaskan sebagai perawat di wisma penampungan pasien Covid-19.
Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, hal yang
aku takutkan benar terjadi dan kini menimpa diriku, aku positif terpapar Covid-19.
Entah, mengapa begitu kejam semesta terhadap diriku? Di saat bersamaan pula
kondisi ayahku dikabarkan kritis akibat kanker yang ia derita sejak dulu. Aku
begitu dilema. Aku ingin pulang menemui dia. Tapi bagaimana mungkin? Sementara
aku sedang diisolasi akibat terpapar Covid-19. Sekarang aku hanya diam
dalam kamar, pasrah akan keadaan.
(Baca juga: Gerimis di Pelupuk Matamu || Puisi Sr. Marta Wullo, SSpS)
Sepekan telah aku lewati. Aku tak mendengar lagi kabar
tentang ayah. “Akankah dia baik-baik saja?” gumamku dalam hati. “Pasti keadaannya
baik-baik saja. Tiba-tiba keyakinan itu berubah menjadi kecemasan. Aku tak biasanya
cemas seperti ini. Entah apa yang akan terjadi? Aku mencari sumber kegelisahan
itu dan belum juga aku temukan. Ada apa dengan diriku?” sahutku.
Aku menatap langit dengan air mata yang membasahi pipiku, tanpa sadar aku bergumam lagi…..ayah….ayah….ayah……iya….ayah. Aku belum mendengar kabar tentang ayah. Aku ingin mengetahui keadaannya sekarang ini. Handphoneku berdering. Seorang ibu menelfonku dengan suara yang terbata-bata. Aku bingung apa yang dia bicarakan. Dalam kebingungan itu, aku berdiam diri menanti kepastian suara itu. “Ayahmu meninggal!” kata ini jelas terngiang dalam telingaku. Aku merebahkan diri di kamarku. Aku tak menyangka hal ini akan terjadi. Tangisku pecah, aku dilema. Air mataku terus berlinang seiring rintikan hujan malam itu. Aku bangkit dan memutuskan untuk pergi dalam langkah tertatih-tatih, aku tak tahu harus ke mana. Namun aku membiarkan pertanyaan “Haruskah aku kembali?” keluh dalam hati. Kepergiannya aku tangisi dari jauh. Di dalam kesedihan hati, aku teringat akan arti nama yang diberikan ibu kepadaku. Nama itu selalu bergema dalam relung jiwaku. Aku dikuatkan oleh arti nama itu, nama yang indah.
*Herwin Ndama, mahasiswa STFT Widya Sasana, Malang
Post a Comment for "Adnyana Akas || Cerpen Herwin Ndama"