Rasa Syukur dan Keutamaan Manusia
(Sumber gambar: bincangsyariah.com)
Oleh: Onessimus Febryan Ambun*
Menikmati
hidup, rejeki, berkat, dan segala pemberian Tuhan merupakan hal yang tak dapat dimungkiri
dalam kehidupan kita setiap hari. Nafas kehidupan, udara segar di pagi hari,
sarapan yang tersedia di meja, merupakan beberapa contoh berkat yang sangat
penting bagi manusia, tetapi sekaligus yang paling sering disepelekan. Dari
zaman ke zaman, actus menyepelekan
berkat merupakan hal yang seringkali dilakukan oleh manusia. Karunia Ilahi yang
datang dari yang mahakuasa seringkali tidak diakui. Manusia hanya mau mengakui
dan menerima apa yang besar dan apa yang membuatnya senang sebagai karunia dari
Allah. Sebaliknya, segala bentuk penderitaan, segala yang ia tidak sukai,
ditolaknya mentah-mentah.
Dari
zaman ke zaman, manusia hanya memfokuskan diri pada penderitaan yang ia alami.
Ia selalu menghitung-hitung penderitaannya lebih daripada karunia dan berkat
yang setiap hari ia dapatkan. Ia hanya bisa menikmati, tanpa bisa bersyukur. Ia
juga hanya menginginkan kepuasan dan kebahagiaan; ketika penderitaan datang,
manusia mengutuki nasib. Alangkah ironisnya kemanusiaan kita! Di sini, terlihat
dengan jelas bagaimana sikap arogan manusia terhadap segala rancangan Allah.
Manusia menunjukan arogansinya dengan bersikap “sok tahu” atas kehendak Allah
pada diri manusia. Ia tidak mempunyai keterbukaan atas rancangan Allah bagi
dirinya. Manusia sejatinya memiliki masalah pada rasa syukur dan ucapan terima
kasih.
Di
dunia modern yang saat ini seringkali dijejali oleh masalah-masalah akibat
usaha pencarian manusia akan keutamaan dalam bidang sosial, politik, ekonomi
yang semakin hari semakin rumit, manusia terkadang lupa bahwa ada suatu
keutamaan yang sebetulnya lebih penting dari keutamaan-keutamaan lain yang ada
di dunia ini, yaitu rasa syukur (gratitude). Rasa syukur sendiri dapat dinilai
sebagai sesuatu yang amat penting dalam kehidupan. Dalam sudut pandang filosofis,
rasa syukur sendiri sejatinya dikenal sebagai keutamaan tertinggi manusia. Pada
era Romawi Kuno, Cicero, seorang filsuf dan negarawan pernah mengatakan bahwa
“bersyukur bukan saja keutamaan yang paling besar, melainkan juga induk yang
melahirkan keutamaan-keutamaan lain.”[1]
Namun, dari pernyataan ini, muncul suatu pertanyaan yang penting untuk dijawab:
mengapa rasa syukur itu sendiri dikatakan sebagai keutamaan terbesar manusia? Sebelum
menjawabi pertanyaan di atas, patut disadari, rasa syukur dan terima kasih
tentunya mempunyai distingsi yang jelas. Rasa syukur dibagi atas dua, yaitu
rasa syukur vertikal (kepada yang Ilahi) dan rasa syukur horizontal (kepada
yang insani).[2]
Tulisan ini hanya akan berbicara tentang rasa syukur atas karunia ilahi yang juga
disebut sebagai rasa syukur vertikal.
Berbicara
tentang rasa syukur vertikal, orang-orang Yunani Kuno di zaman klasik mempunyai
pandangan yang sangat menarik. Karya-karya yang ditulis Homeros, terutama
Odyssey dan Illiad menyimpan begitu banyak pandangan khas yang sangat
mengesankan untuk dibahas. Salah satu amanat penting yang terkandung dalam
tulisan-tulisannya adalah mengenai rasa syukur sebagai keutamaan manusia.
Tindakan bersyukur bagi Homeros merupakan hal yang sangat penting dalam
kehidupan. Namun, seperti apakah rasa syukur dibahasakan dalam
tulisan-tulisannya itu?
(Baca
juga: HomeOpiniPedagogi Kritis Henry Giroux dan Terang Kebangkitan Literasi di NTT)
Rasa Syukur: Sebuah
Keterbukaan
Jika
dipandang secara seksama, setiap kali membaca Odyssey atau Illiad, apa yang
dapat dilihat adalah bahwa bagi Homeros, menjadi filosofis adalah dengan
“bersyukur”. Tindakan paling agung dari seorang pecinta kebijaksanaan atau
filsuf adalah dengan menunjukan rasa syukur. Hal ini berarti hanya dengan
terbuka atau membuka diri terhadap kemungkinan untuk takjub atau kagum atas
segala keajaiban yang diberikan oleh Sang Pencipta di dunia ini.[3]
Dalam
epos-epos Homeros, tokoh-tokoh, protagonis, mereka yang melakukan petualangan,
dalam beberapa cara pada alur ceritanya terus-menerus mencoba untuk menyamakan
atau menyinkronkan apa yang menjadi ketetapan para dewa dengan hingar-bingar
pergulatan hidup mereka.[4]
Ada semacam keterbukaan dari para tokoh terhadap apa yang dikatakan atau
diberikan para dewa dalam hal kesulitan, tantangan, pencarian hidup, dan makna
kehidupan yang ditentukan oleh para dewa atas mereka. Di sini, keterbukaan para
tokoh dapat dimengerti sebagai suatu kebajikan. Membuka diri terhadap kehendak
para dewata berarti membiarkan campur tangan ilahi dalam segala pergumulan
hidup manusia bekerja sesuai rencana.
Keterbukaan
terhadap segala penetapan ilahi selalu merupakan suatu kebajikan. Kebajikan itu
selalu menjadi nilai yang amat penting bagi manusia. Dalam bahasa Yunani,
kebajikan dikenal sebagai arête. Arête sendiri umumnya diterjemahkan
sebagai sesuatu yang sangat baik atau sempurna.[5]
Namun, terjemahan itu sekiranya sangat berbeda dengan alam pikir Yunani yang
sebenarnya. Arête dalam cara yang
mungkin kita pikirkan atau bahkan orang-orang Romawi pikirkan pada akhirnya
adalah semacam kesempurnaan moral. Beberapa menafsirkanya sebagai sesuatu yang
superior, sempurna, atau luar biasa. Dan beginilah cara kita memikirkannya di
dunia modern. Namun, benar-benar bagi orang Yunani zaman dahulu, arête lebih ditafsirkan sebagai suatu
keterbukaan untuk takjub atau kagum (wonder) atas suatu pengalaman yang super
fenomenal atas dirinya.[6]
(Baca
juga: HomeOpiniPolemik Pendidikan Daring di Tengah Pandemi Covid-19)
Keutamaan: Bersyukur dan Berkorban
Senantiasa
Untuk
orang Yunani, jenis pengalaman super fenomenal seperti mendapat berkat, rejeki,
ataupun tantangan dan kesulitan, akan langsung membuat manusia seperti Odysseus
dalam Odyssey mempersembahkan korban demi menunjukan rasa syukur atau terima
kasihnya kepada para dewata yang telah menciptakan makna dan keajaiban atas
hidup mereka. Untuk orang Yunani, arête diwujudnyatakan dalam pemberian korban
sebagai ungkapan rasa syukur. Bagi mereka, korban dapat menyenangkan hati para
dewa.[7]
Dengan
cara tersebut, dalam epos-epos Homeros, dapat dilihat bahwa korban dan
persembahan ini dibawakan berulangkali sepanjang cerita. Dan sekiranya, hal
inilah yang disebut sebagai keutamaan. Berulangkali membawakan korban sebagai
ungkapan rasa syukur merupakan sebuah keutamaan yang terbentuk dari hasil
pembiasaan diri. Menurut Aristoteles dalam bukunya Nichomachean Ethics, keutamaan sejatinya terbentuk melalui proses
pembentukan diri secara simultan dan terus menerus. Orang tidak dapat disebut
memiliki keutamaan jika ia hanya melakukan satu atau dua kali perbuatan baik
dalam hidupnya. Bagi Aristoteles, keutamaan seharusnya lahir dari habitus atau kebiasaan.[8]
Dan persis seperti inilah yang dilakukan oleh Odysseus dan Telemacus dalam
epos-epos Homeros. Mereka senantiasa bersyukur kepada para dewata lewat
korban-korban yang mereka berikan.
(Baca juga: Selisih Satu Suara, Manek Tatu Pimpin Ledalero 82)
Jika
dilihat lebih lanjut, dalam epos-epos Homeros, pemberian korban dan persembahan
merupakan hal sangat penting. Namun, seringkali orang-orang hanya melewati alur
ini dengan sengaja dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sepele. Di sini,
terlihat dengan jelas sifat asli manusia (para pembaca) yang kurang menghargai
ucapan syukur dan terima kasih. Padahal, korban yang diberikan oleh Odysseus
ataupun Telemacus berkaitan erat dengan banyak hadiah, rahmat, segala
pemberian, dan momen campur tangan yang dilakukan para dewa dalam petualangan
mereka.
Pada
dasarnya, tindakan pengorbanan (persembahan korban), sejatinya dapat dibaca
sebagai sebuah jenis gerakan yang sejatinya membuka dunia manusia terhadap
dunia transenden para dewa.[9]
Manusia memberikan korban kepada para dewata sebagai ucapan terima kasih. Dan
dengan itu ia membuka tabir transendensi ilahi melalui persembahannya. Doa-doa,
ucapan syukur, dan barangkali aroma korban persembahan, naik melewati dunia
manusia ke atas langit memasuki kediaman surgawi. Segala tabir yang memisahkan
dunia para dewa dan manusia serentak lenyap begitu saja karena keterbukaan
manusia untuk berterima kasih dan bersyukur. Inilah keutamaan sejati.
(Baca
juga: Hujan di Bulan November; Aku Masih Melangkah dalam Kesendirian || Puisi Sr. Marta Wullo, SSpS)
Bersyukur: Bagaimana Sepatutnya?
Seringkali,
pembicaraan tentang rasa syukur pada akhirnya menjurus pada suatu pertanyaan:
“bagaimana sepatutnya manusia bersyukur? Atau bagaimana bersyukur dengan baik?”
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini lahir dari niat baik manusia untuk menunjukan
rasa syukurnya. Namun, karena berbagai keterbatasan, manusia terkadang bingung
bagaimana sepatutnya ia dapat menunjukan rasa syukurnya dengan baik kepada Sang
Pemberi Kehidupan.
Hal
umum dan paling utama yang dapat dilakukan manusia adalah dengan berdoa. Dalam
konteks ini, hal tersebut dapat dikaitkan dengan nilai religius secara
mendasar. Religius di sini berarti terbuka atas pekerjaan ilahi, atau terbuka
atas karya-karya Tuhan. Yang kita lakukan sebagai bentuk keterbukaan ini adalah
dengan tindakan berdoa. Berdoa berarti berbicara kepada Tuhan sekaligus
mengakui setiap hari, kehadiran dan aktivitas Tuhan yang terus menerus kita
alami dalam kehidupan kita. Dan doa yang sangat baik adalah dilakukan dalam
bentuk pengorbanan. Di sini kita menawarkan korban dari rasa syukur atau rasa
terima kasih. Namun, kira-kira bagaimanakah kita dapat berkorban dengan baik
sesuai dengan tuntutan zaman ini?
(Baca
juga: Kabar Duka dari Pulau Seberang || Cerpen BD)
Berkorban
di era Homeros dan berkorban di era modern tidaklah sama. Pada dasarnya makna
dan fungsinya memang tetap sama, tetapi cara berkorban di era Yunani dan di era
modern sejatinya berbeda. Pada zaman dahulu, orang-orang akan menunjukan rasa
syukurnya dengan menyembelih hewan dan mempersembahkannya di atas mezbah
sebagai korban. Dalam konteks kita di zaman ini yang sedang dihadapkan dengan
berbagai masalah terutama masalah kemanusiaan yaitu kemiskinan dan kemelaratan,
menurut penulis, hal yang dapat dilakukan sebagai ungkapan pengorbanan ialah
misalnya dengan melakukan tindakan amal. Tindakan amal ini biasanya
diwujudnyatakan dengan memberi sumbangan berupa tenaga, uang, dukungan, dan
lain sebagainya kepada orang-orang yang terlantar dan terpinggirkan. Tindakan
amal sendiri dapat dibaca sebagai tindakan karitatif yang dilakukan agar orang
lain dapat hidup dengan lebih baik. Di sini, kita mengorbankan kenyamanan kita
demi kebaikan sesama.
Sejatinya, rasa syukur yang dibahasakan lewat pengorbanan merupakan suatu keutamaan yang tentunya melahirkan keutamaan-keutamaan lain. Menurut penulis, dengan melakukan tindakan amal dan tindakan-tindakan baik lainnya sebagai perwujudan korban dan rasa syukur, kita tentunya juga melahirkan keutamaan-keutamaan yang dapat membahagiakan semua orang. Oleh karena itu, apa yang diungkapkan Cicero bahwa “bersyukur merupakan induk yang melahirkan keutamaan-keutamaan lain”, merupakan realitas yang tak terbantahkan.
[1] Marcus Tullius Cicero, Oratio Pro Cnæo Plancio, XXXIII, [Gratus
animus est una virtus non solum maxima, sed etiam mater virtutum onmium
reliquarum.]
[2] Jans-Beken Lilian, “A
Perspective on Mature Gratitude as a Way of Coping With COVID-19” dalam Frontiers in Psychology Journal,
12:632911, Maret 2021,
<https://www.frontiersin.org/article/10.3389/fpsyg.2021.632911>, hlm. 2.
[3]
I. M. Hohendahl-Zoetelief, Manners
in the Homeric Epic [Omgangsvormen in het Homerische epos] (Leiden: BRILL,
1980), hlm. 111.
[4]
Cf. Homer, Odyssey, I-XXIV dan Homer, Illiad, XVIII.
[5]
Simon Blackburn (ed), The Oxford Dictionary of Philosophy: third
edition (Oxford: Oxford University
Press, 2016), hlm. 29.
[6]
I. M. Hohendahl-Zoetelief, loc, cit.
[7] Ibid., hlm. 112.
[8] Aristoteles, Nichomachean Ethics, “II”, V, penerj.
David Ross (Oxford: Oxford University Press, 2009), hlm. 23-24.
[9]
I. M. Hohendahl-Zoetelief, op. cit., hlm. 115.
*Oleh: Onessimus Febryan Ambun, mahasiswa Prodi Filsafat STFK Ledalero
Post a Comment for "Rasa Syukur dan Keutamaan Manusia"