Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Rasa Syukur dan Keutamaan Manusia

(Sumber gambar: bincangsyariah.com)


 Oleh: Onessimus Febryan Ambun*


Menikmati hidup, rejeki, berkat, dan segala pemberian Tuhan merupakan hal yang tak dapat dimungkiri dalam kehidupan kita setiap hari. Nafas kehidupan, udara segar di pagi hari, sarapan yang tersedia di meja, merupakan beberapa contoh berkat yang sangat penting bagi manusia, tetapi sekaligus yang paling sering disepelekan. Dari zaman ke zaman, actus menyepelekan berkat merupakan hal yang seringkali dilakukan oleh manusia. Karunia Ilahi yang datang dari yang mahakuasa seringkali tidak diakui. Manusia hanya mau mengakui dan menerima apa yang besar dan apa yang membuatnya senang sebagai karunia dari Allah. Sebaliknya, segala bentuk penderitaan, segala yang ia tidak sukai, ditolaknya mentah-mentah.

Dari zaman ke zaman, manusia hanya memfokuskan diri pada penderitaan yang ia alami. Ia selalu menghitung-hitung penderitaannya lebih daripada karunia dan berkat yang setiap hari ia dapatkan. Ia hanya bisa menikmati, tanpa bisa bersyukur. Ia juga hanya menginginkan kepuasan dan kebahagiaan; ketika penderitaan datang, manusia mengutuki nasib. Alangkah ironisnya kemanusiaan kita! Di sini, terlihat dengan jelas bagaimana sikap arogan manusia terhadap segala rancangan Allah. Manusia menunjukan arogansinya dengan bersikap “sok tahu” atas kehendak Allah pada diri manusia. Ia tidak mempunyai keterbukaan atas rancangan Allah bagi dirinya. Manusia sejatinya memiliki masalah pada rasa syukur dan ucapan terima kasih.

 

(Baca juga: Spinoza FC Gagal Mempertahankan Gelar dalam Partai Final Tournament Sepak Bola Dies Natalis STFK Ledalero ke-53)

 

Di dunia modern yang saat ini seringkali dijejali oleh masalah-masalah akibat usaha pencarian manusia akan keutamaan dalam bidang sosial, politik, ekonomi yang semakin hari semakin rumit, manusia terkadang lupa bahwa ada suatu keutamaan yang sebetulnya lebih penting dari keutamaan-keutamaan lain yang ada di dunia ini, yaitu rasa syukur (gratitude). Rasa syukur sendiri dapat dinilai sebagai sesuatu yang amat penting dalam kehidupan. Dalam sudut pandang filosofis, rasa syukur sendiri sejatinya dikenal sebagai keutamaan tertinggi manusia. Pada era Romawi Kuno, Cicero, seorang filsuf dan negarawan pernah mengatakan bahwa “bersyukur bukan saja keutamaan yang paling besar, melainkan juga induk yang melahirkan keutamaan-keutamaan lain.”[1] Namun, dari pernyataan ini, muncul suatu pertanyaan yang penting untuk dijawab: mengapa rasa syukur itu sendiri dikatakan sebagai keutamaan terbesar manusia? Sebelum menjawabi pertanyaan di atas, patut disadari, rasa syukur dan terima kasih tentunya mempunyai distingsi yang jelas. Rasa syukur dibagi atas dua, yaitu rasa syukur vertikal (kepada yang Ilahi) dan rasa syukur horizontal (kepada yang insani).[2] Tulisan ini hanya akan berbicara tentang rasa syukur atas karunia ilahi yang juga disebut sebagai rasa syukur vertikal.

Berbicara tentang rasa syukur vertikal, orang-orang Yunani Kuno di zaman klasik mempunyai pandangan yang sangat menarik. Karya-karya yang ditulis Homeros, terutama Odyssey dan Illiad menyimpan begitu banyak pandangan khas yang sangat mengesankan untuk dibahas. Salah satu amanat penting yang terkandung dalam tulisan-tulisannya adalah mengenai rasa syukur sebagai keutamaan manusia. Tindakan bersyukur bagi Homeros merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan. Namun, seperti apakah rasa syukur dibahasakan dalam tulisan-tulisannya itu? 

 

(Baca juga: HomeOpiniPedagogi Kritis Henry Giroux dan Terang Kebangkitan Literasi di NTT)

 

Rasa Syukur: Sebuah Keterbukaan 


Jika dipandang secara seksama, setiap kali membaca Odyssey atau Illiad, apa yang dapat dilihat adalah bahwa bagi Homeros, menjadi filosofis adalah dengan “bersyukur”. Tindakan paling agung dari seorang pecinta kebijaksanaan atau filsuf adalah dengan menunjukan rasa syukur. Hal ini berarti hanya dengan terbuka atau membuka diri terhadap kemungkinan untuk takjub atau kagum atas segala keajaiban yang diberikan oleh Sang Pencipta di dunia ini.[3]

Dalam epos-epos Homeros, tokoh-tokoh, protagonis, mereka yang melakukan petualangan, dalam beberapa cara pada alur ceritanya terus-menerus mencoba untuk menyamakan atau menyinkronkan apa yang menjadi ketetapan para dewa dengan hingar-bingar pergulatan hidup mereka.[4] Ada semacam keterbukaan dari para tokoh terhadap apa yang dikatakan atau diberikan para dewa dalam hal kesulitan, tantangan, pencarian hidup, dan makna kehidupan yang ditentukan oleh para dewa atas mereka. Di sini, keterbukaan para tokoh dapat dimengerti sebagai suatu kebajikan. Membuka diri terhadap kehendak para dewata berarti membiarkan campur tangan ilahi dalam segala pergumulan hidup manusia bekerja sesuai rencana.

Keterbukaan terhadap segala penetapan ilahi selalu merupakan suatu kebajikan. Kebajikan itu selalu menjadi nilai yang amat penting bagi manusia. Dalam bahasa Yunani, kebajikan dikenal sebagai arête. Arête sendiri umumnya diterjemahkan sebagai sesuatu yang sangat baik atau sempurna.[5] Namun, terjemahan itu sekiranya sangat berbeda dengan alam pikir Yunani yang sebenarnya. Arête dalam cara yang mungkin kita pikirkan atau bahkan orang-orang Romawi pikirkan pada akhirnya adalah semacam kesempurnaan moral. Beberapa menafsirkanya sebagai sesuatu yang superior, sempurna, atau luar biasa. Dan beginilah cara kita memikirkannya di dunia modern. Namun, benar-benar bagi orang Yunani zaman dahulu, arête lebih ditafsirkan sebagai suatu keterbukaan untuk takjub atau kagum (wonder) atas suatu pengalaman yang super fenomenal atas dirinya.[6]

 

(Baca juga: HomeOpiniPolemik Pendidikan Daring di Tengah Pandemi Covid-19)

 

Keutamaan: Bersyukur dan Berkorban Senantiasa


Untuk orang Yunani, jenis pengalaman super fenomenal seperti mendapat berkat, rejeki, ataupun tantangan dan kesulitan, akan langsung membuat manusia seperti Odysseus dalam Odyssey mempersembahkan korban demi menunjukan rasa syukur atau terima kasihnya kepada para dewata yang telah menciptakan makna dan keajaiban atas hidup mereka. Untuk orang Yunani, arête diwujudnyatakan dalam pemberian korban sebagai ungkapan rasa syukur. Bagi mereka, korban dapat menyenangkan hati para dewa.[7]

Dengan cara tersebut, dalam epos-epos Homeros, dapat dilihat bahwa korban dan persembahan ini dibawakan berulangkali sepanjang cerita. Dan sekiranya, hal inilah yang disebut sebagai keutamaan. Berulangkali membawakan korban sebagai ungkapan rasa syukur merupakan sebuah keutamaan yang terbentuk dari hasil pembiasaan diri. Menurut Aristoteles dalam bukunya Nichomachean Ethics, keutamaan sejatinya terbentuk melalui proses pembentukan diri secara simultan dan terus menerus. Orang tidak dapat disebut memiliki keutamaan jika ia hanya melakukan satu atau dua kali perbuatan baik dalam hidupnya. Bagi Aristoteles, keutamaan seharusnya lahir dari habitus atau kebiasaan.[8] Dan persis seperti inilah yang dilakukan oleh Odysseus dan Telemacus dalam epos-epos Homeros. Mereka senantiasa bersyukur kepada para dewata lewat korban-korban yang mereka berikan.


(Baca juga: Selisih Satu Suara, Manek Tatu Pimpin Ledalero 82)


Jika dilihat lebih lanjut, dalam epos-epos Homeros, pemberian korban dan persembahan merupakan hal sangat penting. Namun, seringkali orang-orang hanya melewati alur ini dengan sengaja dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sepele. Di sini, terlihat dengan jelas sifat asli manusia (para pembaca) yang kurang menghargai ucapan syukur dan terima kasih. Padahal, korban yang diberikan oleh Odysseus ataupun Telemacus berkaitan erat dengan banyak hadiah, rahmat, segala pemberian, dan momen campur tangan yang dilakukan para dewa dalam petualangan mereka.

Pada dasarnya, tindakan pengorbanan (persembahan korban), sejatinya dapat dibaca sebagai sebuah jenis gerakan yang sejatinya membuka dunia manusia terhadap dunia transenden para dewa.[9] Manusia memberikan korban kepada para dewata sebagai ucapan terima kasih. Dan dengan itu ia membuka tabir transendensi ilahi melalui persembahannya. Doa-doa, ucapan syukur, dan barangkali aroma korban persembahan, naik melewati dunia manusia ke atas langit memasuki kediaman surgawi. Segala tabir yang memisahkan dunia para dewa dan manusia serentak lenyap begitu saja karena keterbukaan manusia untuk berterima kasih dan bersyukur. Inilah keutamaan sejati.

 

(Baca jugaHujan di Bulan November; Aku Masih Melangkah dalam Kesendirian || Puisi Sr. Marta Wullo, SSpS)

 

Bersyukur: Bagaimana Sepatutnya?


Seringkali, pembicaraan tentang rasa syukur pada akhirnya menjurus pada suatu pertanyaan: “bagaimana sepatutnya manusia bersyukur? Atau bagaimana bersyukur dengan baik?” Pertanyaan-pertanyaan seperti ini lahir dari niat baik manusia untuk menunjukan rasa syukurnya. Namun, karena berbagai keterbatasan, manusia terkadang bingung bagaimana sepatutnya ia dapat menunjukan rasa syukurnya dengan baik kepada Sang Pemberi Kehidupan.

Hal umum dan paling utama yang dapat dilakukan manusia adalah dengan berdoa. Dalam konteks ini, hal tersebut dapat dikaitkan dengan nilai religius secara mendasar. Religius di sini berarti terbuka atas pekerjaan ilahi, atau terbuka atas karya-karya Tuhan. Yang kita lakukan sebagai bentuk keterbukaan ini adalah dengan tindakan berdoa. Berdoa berarti berbicara kepada Tuhan sekaligus mengakui setiap hari, kehadiran dan aktivitas Tuhan yang terus menerus kita alami dalam kehidupan kita. Dan doa yang sangat baik adalah dilakukan dalam bentuk pengorbanan. Di sini kita menawarkan korban dari rasa syukur atau rasa terima kasih. Namun, kira-kira bagaimanakah kita dapat berkorban dengan baik sesuai dengan tuntutan zaman ini?

 

(Baca juga:  Kabar Duka dari Pulau Seberang || Cerpen BD)

 

Berkorban di era Homeros dan berkorban di era modern tidaklah sama. Pada dasarnya makna dan fungsinya memang tetap sama, tetapi cara berkorban di era Yunani dan di era modern sejatinya berbeda. Pada zaman dahulu, orang-orang akan menunjukan rasa syukurnya dengan menyembelih hewan dan mempersembahkannya di atas mezbah sebagai korban. Dalam konteks kita di zaman ini yang sedang dihadapkan dengan berbagai masalah terutama masalah kemanusiaan yaitu kemiskinan dan kemelaratan, menurut penulis, hal yang dapat dilakukan sebagai ungkapan pengorbanan ialah misalnya dengan melakukan tindakan amal. Tindakan amal ini biasanya diwujudnyatakan dengan memberi sumbangan berupa tenaga, uang, dukungan, dan lain sebagainya kepada orang-orang yang terlantar dan terpinggirkan. Tindakan amal sendiri dapat dibaca sebagai tindakan karitatif yang dilakukan agar orang lain dapat hidup dengan lebih baik. Di sini, kita mengorbankan kenyamanan kita demi kebaikan sesama.

Sejatinya, rasa syukur yang dibahasakan lewat pengorbanan merupakan suatu keutamaan yang tentunya melahirkan keutamaan-keutamaan lain. Menurut penulis, dengan melakukan tindakan amal dan tindakan-tindakan baik lainnya sebagai perwujudan korban dan rasa syukur, kita tentunya juga melahirkan keutamaan-keutamaan yang dapat membahagiakan semua orang. Oleh karena itu, apa yang diungkapkan Cicero bahwa “bersyukur merupakan induk yang melahirkan keutamaan-keutamaan lain”, merupakan realitas yang tak terbantahkan.


[1] Marcus Tullius Cicero, Oratio Pro Cnæo Plancio, XXXIII, [Gratus animus est una virtus non solum maxima, sed etiam mater virtutum onmium reliquarum.]

[2] Jans-Beken Lilian, “A Perspective on Mature Gratitude as a Way of Coping With COVID-19” dalam Frontiers in Psychology Journal, 12:632911, Maret 2021, <https://www.frontiersin.org/article/10.3389/fpsyg.2021.632911>, hlm. 2.

[3]  I. M. Hohendahl-Zoetelief, Manners in the Homeric Epic [Omgangsvormen in het Homerische epos] (Leiden: BRILL, 1980), hlm. 111.

[4]  Cf. Homer, Odyssey, I-XXIV dan Homer, Illiad, XVIII.

[5] Simon Blackburn (ed), The Oxford Dictionary of Philosophy: third edition  (Oxford: Oxford University Press, 2016), hlm. 29.

[6] I. M. Hohendahl-Zoetelief, loc, cit.

[7] Ibid., hlm. 112.

[8] Aristoteles, Nichomachean Ethics, “II”, V, penerj. David Ross (Oxford: Oxford University Press, 2009), hlm. 23-24.

[9] I. M. Hohendahl-Zoetelief, op. cit., hlm. 115.


*Oleh: Onessimus Febryan Ambun, mahasiswa Prodi Filsafat STFK Ledalero

Post a Comment for "Rasa Syukur dan Keutamaan Manusia"