Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Di Balik Kafe || Cerpen Sintia Clara Aritonang

(Dokpri; Sintia Clara Aritonang)

Sepertinya  hujan kali ini berbeda. Langit terlihat menghitam tanpa menyisakan sedikit warna terang dari awan yang bersembunyi di balik hitam pekat itu. Tak kalah, angin berhempus kencang  dari arah barat, seakan-akan siap menerjang seisi kota dan menghempaskan segala yang terlewati. Anehnya, hujan kali ini tidak ditandai dengan adanya gemuruh dari langit atau kilat yang menyambar, langit tetap tenang meskipun diselimuti awan gelap. 

Kala itu setiap orang berhamburan mencari tempat berteduh yang paling aman agar tidak terusik hujan yang tak lama lagi akan turun, termasuk Reyhan yang kerap dipanggil Rey. Dia berlari kecil menuju sebuah cafe yang menjadi tempat nongkronganya setiap sore. Kebetulan cafe itu tidak jauh dari kantornya, jadi selepas kerja dia akan sempatkan untuk menghabiskan waktu sorenya di cafe itu sebelum malam menyambut. Seperti biasanya ia memesan cappucino lalu memilih tempat paling sudut sembari memandangi jalan yang mulai digenangi oleh rintik hujan dari balik kaca cafe itu.


(Baca juga: Catila || Cerpen BD)


Anehnya, sudah hampir setahun lamanya ia bekerja di kantor dan menjadikan cafe itu tempat favoritnya setiap hari, baru kali ini ia disuguhkan oleh pemandangan yang tak biasa yang ia dapatkan dari balik jendela kaca itu. Di saat air hujan turun dengan kejamnya menghantam seisi bumi, hingga tak satupun yang berani menampakkan diri di luar, berbeda dengan sosok gadis yang bertubuh mungil memiliki tinggi kira-kira 160 cm berdiri di bawah pohon ara. Ia  mengenakan gaun hitam  selutut dan berlengan panjang. Anehnya lagi, rambutnya yang panjang dan hitam dibiarkan terurai begitu saja, tetapi air hujan seakan-akan tidak menyentuh tubuhnya  sedikitpun. Hal itu memberikan kesan yang cukup horor bagi Rey. Lagi-lagi diperhatikanya gadis itu dengan jelas, hingga kedua bola matanya  tak berkedip sedikitpun. Seolah-olah berusaha menerka siapa gadis itu dan mengapa tiba-tiba muncul begitu saja.

***

“Mas..mas Rey”

Suara itu tiba-tiba mengagetkanya yang sedari tadi memperhatikan gadis misteri yang berdiri di bawah pohon ara.

“Eh,, iya mba” jawab Rey dengan ekspresi wajah yang sangat hambar dan cukup kaget.

“Ini cappucinonya” kata barista itu

“Oh,,iyahh makasih mba”. Baristanya langsung menyodorkan segelas cappucino tepat dihadapan Rey. Di saat itu pula Rey mencoba bertanya sosok gadis itu.

“Mba,,coba liat dia deh” jari telunjuk Rey mengarah pada gadis itu yang masih saja berdiri. “Mba, tau dia siapa? Mengapa dia tiba-tiba berada disitu?

Baristanya pun kebingungan dan mencoba menerka siapa yang dimaksud Rey, namun tak jua ia temui gadis yang dimaksud Rey.


(Baca juga: Pedagogi Kritis Henry Giroux dan Terang Kebangkitan Literasi di NTT)


“Mas, jangan ngadi-ngadi dong. Ga ada siapa-siapa kog di sana. Mungkin Mas Rey kurang istrahat, jadi penglihatanya agak samar” jawab baristanya dengan santai sambil meninggalkan Rey yang terbebelak dengan jawaban barista itu. Lagi-lagi dia usap-usap matanya dengan jarinya. Mungkin saja benar apa yang dikatakan barista itu. Tapi ternyata tidak, semakin jelas mata Rey melihat, semakin nyata gadis itu memang ada. “Aku harus  menenemuinya nanti selepas hujan sialan ini” gumam Rey dalam hati.

Setiap kali hujan datang menerpa seisi bumi, Rey tak pernah merasa nyaman. Raut wajahnya seolah mengatakan ia sangat membenci hujan. Entah apa alasan yang membuatnya hingga menyesali mengapa harus ada hujan.

***

Jam dinding menunjukkan pukul 16.30, namun langit masih tetap saja berselimutkan awan gelap. Seakan menandakan bahwa hujan akan berlanjut hingga malam tiba. Hanya saja sore itu hujan sudah sedikit reda, tapi jika diterobos tentunya akan basah kuyup juga. Tanpa pikir panjang Rey mengambil payung dan tas kantornya. Ia melangkah keluar dari cafe itu sembari ingin pulang juga. Sebelum langkahnya tulus untuk pulang ke rumah, ia sudah berjanji akan menemui gadis itu terlebih dahulu.

 Langkahnya ia percepat untuk menyeberangi jalan  yang masih digenangi air hujan itu. Namun di saat langkahnya mulai mendekat, detak jantungnya berdegup sangat kencang. Ia tak bisa mengkondisikan tubuhnya. Rasa takut dan juga penasaran yang sedari tadi menghantui dirinya membuat ia harus mengetahui sosok gadis itu.  Hanya berjarak lima langkah dari gadis itu, Rey menghentikan langkahnya.  Ia melihat gadis itu sangat nyata. Pikiran Rey sangat kosong untuk memulai pembicaraan namun ia beranikan juga.


(Baca juga: Potret Buram dari Rahim || Puisi Arnolda Elan)


“Anak gadis tidak boleh di sini sendirian. Apalagi ini sudah sore, hujan pula” pembicaraan yang cukup kaku Rey lontarkan pada gadis itu. Rey terdiam menunggu sepatah kata keluar dari mulut gadis itu yang masih saja tak mau menampakkan wajahnya.

“Aku suka hujan” lirih gadis itu dengan nada suara yang sangat lembut. Seketika mata Reyhan terbelalak setelah mendengar suara gadis itu. Mulutnya bungkam seribu bahasa, telinganya mencoba menerka suara itu. Suara yang sungguh tak asing lagi di telinganya. Ia mencoba mengingat-ingat namun tak juga ia temukan siapa pemilik suara itu. Namun Reyhan tetap bersikap tenang dan berusaha melanjutkan pembicaraan, hingga ia bisa menebak suara itu.

“Oh, suka hujan. Aku juga suka hujan” Rey membalas sambil menengadahkan tangan kelangit untuk menyakinkan gadis itu  bahwa ia juga menyukai setiap tetesan hujan walaupun hanya untuk menrik perhatian gadis itu.

“Bagaimana mungkin kamu menyukai hujan, sedangkan kamu masih berlindung dibalik payung itu” ucap gadis itu lagi. “Astaga, bagaimana dia bisa tahu aku menggunakan payung sedangkan matanya saja tak tertuju padaku sedikit pun” gumam Rey dalam hati. Sedikit kebingungan mulai terlihat jelas dari raut wajah Reyhan. Ia merasa sepertinya kejadian itu sudah pernah ia lewati di saat ia menggunakan payung yang sama.  Ia semakin berusaha mengingat sekeras mungkin tapi pikiranya tak mampu menebak.

***

“Kkkkk-kamu ttau darimana aku pake payung? Melihat wajahku saja kamu tidak” tutur Reyhan dengan sedikit terbata-bata. Setelah mendengar perkataanya, gadis itu berputar lambat dan mencoba menghadap ke arah Rey. Perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya dan menatapi raut wajah Reyhan yang sedari tadi berdiri mematung.

Seketika Reyhan diam seribu bahasa. Ia pandangi wajah gadis itu dengan seksama. Bola mata yang indah bak bola pimpong, hidung mancung serta bibir tipis berona merah itu tak asing baginya. Matanya tak kuasa memandangi gadis yang ada dihadapanya itu. Gadis yang ia anggap aneh  itu ternyata kekasihnya dulu sebelum sebuah kejadian tragis menimpa mereka berdua dulu. 

Bulir-bulir air mata mulai berjatuhan tanpa beraturan dari kedua bola matanya. Ia menjatuhkan tanganya dan membiarkan payungnya terhempas dibawa angin entah kemana. Ia raih kedua tangan gadisnya itu, lalu  memeluk seerat mungkin. Tak sedikitpun kata yang keluar dari mulut Reyhan. Ia tak ingin memendam rasa rindunya lagi setelah dua tahun lamanya ia berpisah. Sesekali ia kecup kening gadis itu dengan penuh tangisan dan kembali ia peluk seerat mungkin.

***

Di saat langit senja mulai menampakkan diri setelah tertanam oleh awan pekat tadi, perlahan gadis itu melepas tangan Reyhan dari badanya.


(Baca juga: Damyan; Aku Mencari Teduh di Bola Matamu || Puisi Ayu Alexandra)


“Rey,,, aku datang disini untuk mengiklaskanmu, aku hanya tidak ingin kamu terbebani pikiran hanya karna memikirkanku. Selepas kejadian itu yang membuat kita harus berbeda alam, mungkin Tuhan lebih sayang padaku dan bukan kamu. Aku tak menyesali kepergianku dari hidupmu, aku juga tak menyesali mengapa harus ada hujan di bumi ini. Sebab, jikalau bukan karena hujan yang mengakibatkan kita mengalami kecelakaan, mungkin saja aku dan kamu sekarang ini sudah bahagia bersama. Tetapi kehendak Tuhan berbeda. Mungkin Tuhan tak mengijinkanku untuk hidup bersamamu dan aku harus menerima itu. 

Rey, dengan siapapun kelak kamu menikah, aku mengiklaskanya. Kamu bahagia di sini, aku juga bahagia di alam kusendiri. Dan sekarang aku mencoba berdamai dengan hujan dan aku harap kamu juga begitu. Satu hal yang harus kau ingat Rey, tak ada yang akan terjadi jika bukan Tuhan yang mengkehendaki. Berdamailah dengan segala sesuatu, dan belajarlah merelakan segala sesuatu dengan ikhlas meskipun itu kebahagian satu-satunya yang kamu miliki. Aku harus pamit.”

***

Perlahan-lahan gadis itu mulai terlihat samar dari penglihatan Rey, hingga akhirnya hilang sepenuhnya.

“Mass.....Mas Rey” suara barista itu mengagetkan Rey. Bola matanya terbuka lebar seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia usap-usap berapa kali matanya tetapi sama saja. Ia memperhatikan sekelilingnya. Orang-orang sudah tidak ada lagi di cafe itu dan hanya tinggal dirinya. Jam menunjukkan pukul 17.00 pertanda cafe itu akan segera tutup. Ia kembali menatap keluar melalui jendela kaca. Aroma tanah sehabis hujan yang begitu khas tercium olehnya, ia melirik ke arah pohon ara yang ia temukan hanya langit senja dan pelangi yang menghias indah di langit kota itu selepas hujan sore.

“Apa yang telah terjadi?” tanyanya pada barista yang sibuk membereskan cafe.


(Baca juga: Lelaki Menantinya di Tangga Unit Agustinus)


“Tadi, sewaktu hujan lebat mas Rey ketiduran. Cappucino nya aja belum mas habiskan” kata barista itu sambil menambil gelas cappucino dari hadapan Rey.

“Aneh tapi nyata, bagaimana mungkin tadi aku bermimpi, jelas-jelas dia tadi hadir dalam hidupku sangat nyata” ujar Reyhan sambil berjalan ke luar meninggalkan cafe itu. Ia menghirup nafas panjang sambil memandangi pelangi itu. “Ahhh...pelanginya indah sekali, aku yakin bahwa itu adalah Raina yang menjelma. Mungkin saja itu tadi hanya mimpi, tetapi bagiku itu kenyataan.” ucapnya sambil menaiki sepeda motornya lalu beranjak dari tempat itu.


Oleh: Sintia Clara Aritonang, gadis belia yang sudah berkepala dua. Saat ini sedang berjuang di bangku perkuliahan di salah satu Universitas di kota Medan.

1 comment for "Di Balik Kafe || Cerpen Sintia Clara Aritonang"