Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pedagogi Kritis Henry Giroux dan Terang Kebangkitan Literasi di NTT


(Sumber gambar: anotasi.com)


Sebelum mengurai lebih lanjut, penulis akan membatasi pendagogi kritis Henry Giroux pada kajian kritisnya tentang pedagogi. Henry Giroux dikenal sebagai bapak pedagogi kritis. Ia lahir pada tanggal 18 September 1943 di Povidencem, Amerika Serikat. Giroux telah menulis begitu banyak buku tentang pendidikan dan juga tinjauan kritis terhadap realitas di masyarakat. Karya Giroux sudah tersebar luas ke berbagai belahan dunia (ms.wikitrev.com). Salah satu gagasannya yang terkenal adalah pegagogi kritis. Gagasan ini sangat relevan dengan konteks pendidikan di Indonesia. Ia mengemukakan ide tentang pendidikan dalam hubungannya dengan kemampuan manusia untuk berpikir kritis.

Selama ini, pedagogi dimengerti sebagai ilmu pengajaran. Akan tetapi, Henry Giroux memperluas pengertian ini. Baginya, pedagogi kritis berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk mendalami dan melihat perkembangan dunia saat ini (Giroux, 2010: 4). Untuk itu, sikap kritis membutuhkan keluasan wawasan. Sikap kritis yang dibekali keluasan wawasan memampukan manusia untuk berdialog, berkonfrontasi, dan berbagi pikiran. Hal ini begitu penting bagi kemajuan peradaban manusia.


(Baca juga: ANBK 2021; Terobosan Baru Menembus Batas)


Pedagogi kritis juga dipakai sebagai alat membangun kesadaran dan mendorong perubahan sosial. Bagi Giroux, pendidikan dapat mendorong semangat perjuangan dan memicu perubahan sosial. Di sini, Giroux sangat menekankan kebebasan diri untuk menentukan suatu perubahan, baik di dalam diri maupun dalam lingkungan masyarakat (Kompasiana.com, 01/04/2020). Problemnya, di Indonesia pendidikan kerap dikendalikan oleh watak feodalisme dan otoritarian. Hal demikian tentu dapat membunuh kebebasan berpikir.  Karena itu, dalam konteks ini, pedagogi kritis dapat dipakai, bukan saja untuk melawan watak feodalisme dan otoritarian, tetapi juga bermaksud membentuk kultur pendidikan berbasiskan ide dan argumentasi kritis-dialogis.


Kreativitas Menuju Kebangkitan Literasi di NTT


Saat ini, pendidikan literasi di NTT menuju arah yang makin baik. Bahkan tidak berlebihan kalau NTT dinobatkan sebagai gudang literasi. Sebagai contoh, terdapat sekian banyak siswa-siwa NTT yang mampu bersaing di kancah nasional. Di media sosial dan media cetak ada sekian banyak tulisan-tulisan dari anak NTT. Salah satunya beberapa bulan yang lalu beberapa puisi dari  seorang mahasiswa STFK Ledalero dimuat di media Jawa Pos dan masih banyak banyak karya-karya anak NTT yang sudah sampai di kancah nasional. Contoh di atas tentunya amat didukung oleh semangat literasi pelajar NTT. Semangat literasi itu salah satunya dibuktikan dengan kesediaan pelajar NTT mendirikan taman baca untuk anak-anak.

Pendidikan literasi bukan soal wacana atau omong-omong semata. Harus ada aksi nyata. Sudah cukup lama NTT hidup dalam wacana-wacana dan ide-ide besar namun minus tindakan nyata. Kementerian Pendidikan dan kebudayaan  telah mendeklarasikan literasi nasional pada tahun 2015 dalam Permendikbud 23 tahun 2015. Namun hingga saat ini dari 22 kabupaten/kota di provinis NTT hanya ada satu dua kabupaten saja yang gencar menghidupakan literasi. Kegiatan literasi ini juga hanya dilakukan oleh sekelompok orang saja yang penduli terhadap dunia literasi (smkkatolikstyosefnenuk.sch.id, 27/08/2021).


(Baca juga: Polemik Pendidikan Daring di Tengah Pandemi Covid-19)

Ada beberapa organisasi yang cukup konsisten terlibat dalam gerakan literasi NTT  seperti Agupena NTT (khususnya Flotim) dan Majalah Pendidikan Cakrawala yang gencar dan konsisten melakukan gerakan ini melalui bimbingan menulis dan pembagian buku ke sekolah-sekolah, demikian pun berbagai forum taman maca masyarakat yang ada di kabupaten/kota. Ada juga gerakan ‘katakan dengan buku’ yang diinisiasi oleh John Lobo dengan agenda membagi buku ke sekolah-sekolah pelosok. Menjadikan NTT provinsi literasi tidak cukup dengan gerakan-gerakan sporadis ini. Harus ada gerakan massif bersama (smkkatolikstyosefnenuk.sch.id, 27/08/2021). Dari beberapa komunitas literasi di atas, salah satu komunitas literasi yang menjadi model adalah komunitas Lokoat.Kujawas yang terletak di Desa Taifod, di Kecamatan Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Taman baca ini merupakan hasil perpaduan apik antara kreativitas kewiraswastaan sosial yang dihubungkan dengan seni dan literasi (koalisiseni.or.id, 29/03/2019).

Contoh komunitas Lokoat.Kujawas di atas memperlihatkan bahwa pendidikan literasi tidak terbatas pada ruangan sekolah formal. Aktivitas pendidikan bahkan jauh melampaui ruangan kelas. Pendidikan dapat terjadi di mana saja.  Komunitas Lekoat.Kujawas telah membuktikan hal itu. Mereka melatih orang-orang kampung untuk melihat kearifan lokal seperti masakan tradisional, bumbu-bumbu, dan juga menghidupkan kembali budaya tenun. Kreativitas inilah yang perlu ditumbuhkembangkan dalam diri masyarakat NTT. Namun demikian, keberhasilan pelajar NTT sebagaimana diperlihatkan di atas mesti berdampak pada kemajuan daya kreativitas masyarakat NTT itu sendiri. Atas dasar itu, pendidikan literasi bagi masyarakat sangat diperlukan agar mereka lebih kreatif dan sanggup memahami bidang yang sedang ditekuni (Kompas.id, 29/12/2020).


Belajar dari Henry Giroux


Henry Giroux dalam pedagogi kritisnya menekankan kebebasan berpikir, berpendapat dan daya kreativitas yang dapat diandalkan untuk mencapai perubahan yang baik. Perubahan-perubahan itu lahir dari pikiran kritis. Hemat penulis, NTT tidak maju dikarenakan oleh tidak adanya promotor/penggerak untuk menggerakan masyarakat, mental santai dan budaya kretativitas yang masih lemah. Masyarakat NTT perlu bersikap kritis dan penuh kreatif dalam menyikapi persoalan-persoalan ini. Misalnya menghidupkan kembali kearifan lokal seperti budaya tenun, masakan tradisional sehingga bukan hanya meningkatan mutu diri tetapi juga mampu meningkatkan perekonomian. Sebagaimana yang dilakukan oleh komunitas Lokoat.Kujawas. Daya kritis inilah yang dikehendaki oleh Henry Giroux sebagai jalan menuju perubahan sosial.

Kerativitas juga perlu didukung oleh keterlibatan berbagai pihak seperti pemerintah, masyarakat (orang tua), guru, dan institusi sekolah itu sendiri. Pemerintah perlu menyediakan fasilitas yang lengkap guna menunjang belajar dari siswa dan juga menyediakan pasar untuk menjual hasil kreativitas dari anak-anak sekolah ataupun masyarakat NTT.  Orang tua perlu mendukung anak-anak mereka, baik itu secara moral maupun secara ekonomi, sedangkan guru perlu kerja ektra agar mampu menghasilkan anak didik yang berkualitas dan penuh kreativitas. Bilamana beberbagai pihak itu terus bekerjasama, maka NTT dengan sendirinya akan  menjadi Provinsi yang maju, bukan hanya maju dalam insfrastruktur tetapi juga dalam kualitas hidup masyarakat NTT.

Post a Comment for "Pedagogi Kritis Henry Giroux dan Terang Kebangkitan Literasi di NTT"