Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Renungan Minggu Biasa XXXII || Sukarela dan Sukacita dalam Berbagi

 
(Foto: Dokumen Pribadi Fr. Alex Sir Sehatang, SVD)


Oleh: Fr. Alex Sir Sehatang, SVD*
Minggu 07 November 2021, Pekan Biasa XXXII
Bacaan Injil    : Markus 12:38-44

 

“Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya. Tetapi janda itu memberi dari kekurangannya; semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.”

            Identitas atau status sebagai seorang janda di zaman Yesus sering dianggap orang malang dan miskin baik secara sosial maupun secara finansial. Dalam urusan berpakaian,  mereka selalu mengenakan pakaian yang sederhana selain itu juga mereka senantiasa tidak diperhitungkan dalam kehidupan sosial. Kenyataan seperti inilah yang  kadang bahkan sering membuat mereka semakin menderita dan merasa tersisihkan atau dialienasi dari kehidupan bersama.

            Pada zaman Yesus  juga sistem klasifikasi sosial turut menghiasi pola relasi dan interaksi antarsesama. Contohnya dalam praktik pergaulan misalnya orang kaya hanya akan bergaul dengan orang kaya dan orang miskin bergaul dengan orang miskin. Pola semacam ini menjadi semacam patologis sosial yang sangat berbahaya bagi sebuah peradaban masyarakat luas. Imbasnya orang miskin akan semakin miskin dan dipermiskin sedangkan orang kaya semakin berjaya. Tak pelak kaum janda yang notabene adalah seorang yang miskin sering diabaikan dalam lingkup relasi. Mereka selalu dilihat sebagai pendosa. Berhubung  pada zaman itu segala bentuk penderitaan yang dialami merupakan konsekuensi dari dosa yang dilakukan. Dosa dan si pendosa dianggap sebagai penyakit dan harus dijauhi.

            Realitas yang terjadi pada zaman itu dikecam oleh Yesus karena, melanggar hukum cinta kasih dan secara moral melanggar haknya sebagai manusia yang pantas dihargai. Penginjil Markus mengangkat kisah janda dalam tulisannya dengan tujuan bukan hanya untuk menunjukkan keterlibatan dalam memberi persembahan kepada Allah melainkan tentang pribadi yang sukarela dan sukacita memberi segala yang dia punya untuk Allah.  Bukan seberapa banyak yang diberikan kepada Allah, melainkan seberapa rela dan tulus serta sukacitanya dalam sebuah pemberian itu. Yang terbesar adalah kasih yang menyertai pemberian bukan barang yang diberikan dalam  suatu aktus atau tindakan memberi. Dan inilah yang akan menjadi bahan perenungan kita dalam memahami realitas Kerajaan Allah yang sesungguhnya.


(Baca juga: Hujan di Bulan November; Aku Masih Melangkah dalam Kesendirian || Puisi Sr. Marta Wullo, SSpS)


            Adakah alat yang dapat dijadikan pengukur untuk mengukur kualitas seorang manusia? Mampukah kita menakar secara mutlak akan kualitas kebaikan sesama sehingga ia boleh digelar sebagai yang paling baik atau paling ramah?  Sebuah tindakan yang ditunjukan didepan mata atau yang kelihatan mampu memberi dampak dan respons yang sangat bervariasi pada setiap orang yang berlainan. Dan setiap tanggapan spontan yang diberikan tentu sanagtlah tidak tetap. Namun apakah pemberian yang kelihatan bisa dijadikan barometer untuk menentukan bahwa tindakan itulah yang paling baik?

     Kita semua yang berada di tempat ini tentu pernah mengalami suatu pengalaman terabaikan ketika kita berusaha berbagi tetapi apa yang kita bagikan dianggap tidak sesuai standar atau ukuran yang ditentukan bersama. Contohnya saja saat seorang dosen memberi tugas untuk seluruh mahasiswa agar mengadakan sebuah kegiatan bertajuk “mari berbagi untuk anak yatim piatu”. Si A seorang mahasiswa sederhana yang tinggal dalam sebuah rumah kontrakan merasa canggung dan malu saat mengumpulkan barangnya. Itu disebabkan karena standar yang dibuat dosen ialah mengharuskan setiap mahasiswa/i menyumbangkan uang 50 ribu dan barang layak pakai. Ia hanya mampu memberi celana panjang buatan ibunya tersayang yang jarang ia pakai dan selalu tersimpan rapi di dalam lemari. Apakah tindakan amalnya itu dinilai kurang baik dan tidak sesuai dengan permintaan dan atau suruhan? Dan apakah kebaikan itu diukur dari barang yang diharuskan untuk diberikan, atau terletak pada ketulusan untuk berbagi?


 (Baca juga: Tol Jombang Merebut Duka)


Jika dilihat dari standar yang ditetapkan dosen  mau menunjukkan bahwa pemberian si A itu bukan merupakan bentuk amal yang ditetapkan. Namun jika kita cermati  dari kacamata yang lain kita akan menemukan bahwa, ia memberi dengan tulus atau ia memberi karena rasa kemanusiaannya pada manusia lain dan bukan sekadar sebuah suruhan atau permintaan. Ia sebetulnyalah yang memberi lebih dari standar yang ditentukan. Ketulusan dan keikhlasanlah yang menjadi ukurannya. Bahkan ia juga sebetulnya yang  memberi lebih daripada teman-temannya meskipun hanya sepotong celana. Mengapa? Karena bentuk pemberiannya terselip sebuah cinta yang tulus dan jujur tanpa pamrih.

            Seorang mahasiswa yang memberi dari ketulusannya dan dilihat sebagai pemberian yang berharga dapat kita perbandingan dengan pengalaman seorang janda yang berlimpah cinta dan pengorbanan untuk memberi sebagaimana dikisahkan penginjil Markus. Mereka berdua memberi segala diri tentang cinta dan pengorbanan; mereka berdua berhasil sampai pada puncak kasih yang menjadi dasar dari kebaikan dan kebenaran; dan mereka berdua layak disandingkan predikat sebagai panutan. Itulah yang diharapkan Yesus untuk kita sebagai umat yang percaya kepada kehendak-Nya.   


(Baca juga: Bincang Sastra Unit Agustinus Bertema: Sapardi dan Puisi Pertemuan)


            Kisah yang ditulis penginjil Markus dan kisah yang saya angkat  menyangkut sukarela dan sukacita kita dalam hal berbagi merupakan model kasih yang paling tinggi.

            Lalu pertanyaannya untuk kita, Seberapa sukarelakah kita mau berbagi dengan orang lain? Dan seberapa seringkah kita  sudah berbagi dengan orang lain? Dan apakah kita akan terus mau berbagi dengan yang lain dari apa yang kita miliki saat ini? Pemberian itu tidak hanya dilihat dari segi uang atau barang saja, tetapi juga dalam bentuk waktu, usaha dan perhatian kita. Namun yang menjadi landasan fundamental dari pemberian kita adalah kasih dan ketulusan. 

       Kasih dan ketulusan akan menjadikan pemberian kita sungguh dapat menguatkan, menghibur dan meneguhkan orang lain yang menerima pemberian itu. Janganlah kita berpikir bahwa pemberian yang paling berharga adalah ketika kita bisa memberi lebih banyak dari orang lain atau ketika kita bisa memberi sesuatu yang sangat mahal kepada orang lain, tetapi sesungguhnya pemberian yang paling bernilai adalah saat dimana cinta yang besar kita sertakan dalam barang atau waktu yang kita berikan kepada sesama.


(Baca juga: Fratres SVD Asal Manggarai Mengadakan Kegiatan Penyusunan Program Kerja Seksi)


            Yesus adalah pokok dan tokoh panutan kita dalam bertindak. Ia adalah jalan kebenaran dan kebaikan yang harus kita ikuti. Ia menjanjikan sebuah kehidupan yang kaya akan madu dan susu di kemudian hari kepada kita sekalian asalkan saja kita juga mau menerima tawarannya itu dengan selalu melakukan kasih kepada sesama. Ketika kita bisa berbuat kasih tulus kepada sesama sebetulnya itulah model keselamatan yang akan kita nikmati saat ini dan nanti. Namun pertanyaannya maukah kita berbuat kasih? Maukah kita berbagi dengan yang lain dari apa yang kita punyai tanpa harus menanti balasannya.

            Marilah kita sebagai generasi muda yang masih sangat energik berusaha melatih diri untuk mau berbagi dengan sesama tanpa intrik ingin menerima kembali. Kita diminta untuk selalu saja memberi kapan dan di mana saja kita berada. Namun ingtalah juga bahwa pemberian akan sangat bernilai jika kasih kita sertakan dalam barang atau waktu yang kita berikan. Hal ini mengandaikan bahwa pemberian kita sungguh merupakan sebuah kesukarelaan dan kesukacitaan hati untuk memberi. Dengan begitu hidup kita akan menjadi kehidupan yang penuh berkat bagi sesama. 


 *Fr. Alex Sir Sehatang, SVD, Mahasiswa STFK Ledalero. Saat ini berdomisili di Unit St. Agustinus.

Post a Comment for "Renungan Minggu Biasa XXXII || Sukarela dan Sukacita dalam Berbagi"