Lelaki Menantinya di Tangga Unit Agustinus
(Sumber gambar: health.detik.com)
Lelangit masih basah,
sedangkan kabut tebal masih setia mengintai bumi. Dengan wajahnya yang bengis
ia hendak menyergap dengan caranya yang paling manis. Sebentar lagi hujan akan
segera turun dan siap membasahi bumi dan mungkin juga membasahi kenangan. Tetapi
senja memangku pada tempatnya yang paling sunyi, ia tetap teguh pada
pendiriannya, bersinar meski kabut siap melahapnya.
Biarpun lelangit sudah tak bersahabat tetapi senja masih tetap merawat kenangan. Sudah satu jam lebih, lelaki itu masih duduk pada tangga, ia masih sibuk menghitung kendaraan yang berlalu-lalang. Sudah berapa kali Om Ojek berhenti dan bertanya perihal duduknya. Apakah ia sedang menunggu angkutan kota ataukah menunggu yang lain. Entahlah.
Baca juga: Gema Panggilan Pada Bumi Pertiwi; Sebuah Coretan Hati || Puisi Sr. Patri Firtika, SSpS)
Sesekali lelaki itu
mengambil batu kecil yang berserakan di sekitar tempat duduknya, lalu dengan
isengnya ia melempari Pretty yang
sudah dari tadi memantaunya dari balik kolam. Ia tak mau, ada orang yang tahu perihal
menunggunya. Berkali-kali juga sahabatnya dekat memanggilnya untuk menikmati
secangkir kopi, tetap saja ia menolak. Baginya kopi tidak jauh lebih nikmat
dari apa yang ia tunggu.
“Kawan, sini dolo, ada kopi nih?” teriak dari
sahabatnya di balik gorden jendela. Ia hanya menoleh tak berkata-kata. Seakan
ia menolak ajakan itu dengan tegas. Lalu ia kembali fokus pada jalan yang sudah
mulai basah. Rinai hujan sudah turun dengan santai, membasahi jalan dan
kenangan. Pada tempat yang ia duduk
sudah basah. Tetapi dengan sigap tangannya menggambil potong gardus, sebagiannya
dijadikan alas dan yang lainnya sebagai payung. Setidaknya bisa melindungi
wajahnya dari hujan.
(Baca juga: Renungan Minggu Biasa XXXII || Sukarela dan Sukacita dalam Berbagi)
Lelaki itu terus menghitung
kendaraan yang lewat. Ada yang menyapanya dengan membunyikan klakson, ada juga
yang sengaja berhenti dan bertanya. Tetap saja ia masih setia dengan tempat
duduknya. Sudah 30 menit yang lalu senja sudah berpamit dari peraduannya. Kini hujan
sudah datang dengan beringas. Selokan kecil di depan Agustinus sudah digenangi
air.
Gundukan tanah di
tengah jalan, sisa dari para pekerja sudah mulai terkikis dan mengalir dengan
deras menuju selokan. Lelaki itu berpindah tempat, ia menuju paf Andreas. Di tangga
Andreas ia tetap memandang ke arah jalan. Raganya sudah berpindah tempat tetapi
hati tidak, masih pada tempat yang sama.
(Baca juga: Hujan di Bulan November; Aku Masih Melangkah dalam Kesendirian || Puisi Sr. Marta Wullo, SSpS)
Kira-kira sudah 3 jam
ia menunggu. Hatinya mulai resah, mau pamit tetapi ia takut dengan janjinya. Memang
perkara besar yang paling membosankan adalah menunggu. Apalagi menunggu
orang-orang yang sudah janji berkali-berkali tetapi selalu diingkari. Rasanya ingin
menari di bawah rinai hujan tetapi ia takut ada orang yang menyebut orang gila.
Pokoknya rumpil rumit.
Hatinya mulai panas di
saat kawan-kawannya mulai bercanda “Wahh, kawan tidak mungkin ia datang. Apalagi
sudah hujan begini. Atau jangan sampai ada orang yang lebih dulu mengganggiti
dari gigil tubuhnya”. Ia pun pasrah dengan keadaannya. Dalam hatinya ia berujar “Biarkan
Tuhan yang tahu”.
Di saat kesabarannya
sudah selesai dan hatinya sudah pasrah. Tiba-tiba dari balik jalan sebuah motor
metic putih membunyikan klakson, piiiipppppppp,,ppiiiiiiiippppppp, ia dengan
cepat menuju ke jalan. Dengan wajah tersenyum gadis itu berkata “Om Frater, ini
ikan sudah datang. Maaf, agak terlambat. Soalnya di Ribang hujan lebat”.
Post a Comment for "Lelaki Menantinya di Tangga Unit Agustinus"