Bangku Kota dan Sejuta Kenangan || Cerpen BD
(Sumber gambar: www.wallpaperflare.com)
Lampu
kota masih meminang rindu. Lorong-lorongnya juga masih terdengar riuh. Suara
tetangga masih nampak segar, dalam pikiranku. Aku yang belum larut dalam tidur
masih setia memikirkan bangku kota yang masih mesra memeluk malam. Tentang kisah
dua tahun silam yang nampak jelas. Saat duduk berdua memangku resah. Memandang kendaraan
yang berkeliaran pada jalan. Kita masih di tempat itu, tempat yang indah untuk
kita kisahkan di masa depan.
Aku
terus memikirkan tentang itu. entah mengapa aku terus bergulat dengan resah. Padahal
kisah itu telah usai beberapa bulan yang lalu. Saat ia lebih memilih jalannya. Aku
yang pada saat itu mencoba merelakannya meski berat, tetapi mau apalagi cinta
tak bisa dipaksa.
***
(Baca juga: Renungan Minggu Biasa XXX || Pergilah dan Wartakan Kabar Sukacita Tuhan)
Aku
terpaksa bangun saat Hpku berdering untuk yang kesekian kali. Aku bangun sebab
volume deringnya terlalu keras. Aku takut tetangga terganggu. Dengan mata yang
berat aku mencoba meraihnya. Aku kaget, dia meneleponku. Sejak ia pamit, ia tak
lagi ada kabar. Ia menghilang bersama janjinya di bangku kota. Janji yang tak
pasti. Janji yang tak jelas dan janji yang membuat luka.
Aku
tak mau mengangkatnya, aku berpikir ia hanya datang hanya di saat rindu. Aku
tak suka dengan konsep seperti itu. konsep yang salah. Konsep yang penuh dengan
kemodusan. Ia terus meneleponku. Karena kesal
aku mengangkatnya. Tak ada suara, semuanya sunyi. Layaknya seperti di bangku
kota itu. berkali-kali aku terus menyapanya, tetap saja tak ada jawaban. Aku berpikir
mungkin hpnya tekan salah. Tapi aneh juga, kog harus ke kontakku.
***
(Baca juga: Mahasiswa Semester V Program Filsafat STFK Ledalero Melakukan Penghijauan di Pantai Magepanda)
Aku
langsung melepaskan Hp di atas meja. Aku berbaring sejenak. Tiba-tiba Hpku berdering
lagi. Aku langsung bangun dan menonaktifkan. Saat aku kembali berbaring,
ingatanku kembali bertabur semi. Layakanya bunga kamboja yang jatuh keguguran. “Ada
apa sebenarnya ini?” tandasku dalam hati.
Langit
terus mengisahkan sunyi, embunpun sudah menetes dengan senyap. Tak ada lagi
yang berkeliaran di luar sana. Pokoknya sunyi. Aku melihat jam, ternyata sudah
jam 02:00 subuh. Aku cepat-cepat menarik selimut dan melanjutkan tidur yang
tersisa. Waktu tidurku kian molor, hanya karena dia yang tak jelas itu.
***
(Baca juga: Tragedi di Depan Kos Martha || Cerpen BD)
Esok
paginya aku kembali meraih Hpku. Aku membacakan sebuah pesan darinya “Enu, janji kita telah direstu. Aku sudah
mengambil keputusan bahwa aku akan tarik diri. Enu, masih ada dengan perasaan yang sama to?”. Aku mulai cemas. Aku
tak mau disebut pelakor dari Tuhan. Apalagi aku tahu keluarganya sangat
mendukung jalannya, tetapi mengapa ia senekat ini.
Aku
tak peduli dengan pesannya. Hari itu aku segera menyiapkan diri untuk pergi ke kampus.
Hari itu ada ujian UTS dari mata kuliah Psikologi Perkembangan. Waktupun terus
berlalu. Aku terus memikirkannya. Antara senang dan cemas. Kamu tahu, mencintai
banyak orang jauh lebih baik dari pada mencintai seorang.
***
(Baca juga: Kabar Duka dari Pulau Seberang || Cerpen BD)
Tiba-tiba
ia mengajakku ke tempat yang dulu, tempat kami awal jumpa. Akupun meng-iakan
ajakannya. Ia masih seperti yang dulu, masih santun. Tak ada yang rubah darinya
selain kumis yang makin lebat. Kamipun duduk pada bangku yang sejuta kenangan. Ia
berkata “Bangku ini terus memanggilku pulang”.
Akupun
melihat wajahnya yang lugu dengan senyum yang tulus. Ia sangat mencintaiku. Aku
memeluknya. Aku tak peduli dengan puluhan pasang mata yang memandang. Intinya aku
bahagia dengan caraku. Ia juga mengelus kepalaku dengan lembut.
Post a Comment for "Bangku Kota dan Sejuta Kenangan || Cerpen BD"