Cinta Terhalang Pagar Tuhan || Cerpen Sintia Clara Aritonang
Kenyataanya,
LDR terjauh itu ketika Assalamualaikum dibalas dengan Shalom, dan Alhamdulillah
dibalas dengan Puji Tuhan. Dua Perbedaan yang tak akan bisa menyatu.
Entah apa alasan Tuhanku mengenalkanmu padaku, dari
sekian banyak lelaki yang lebih pantas dan lebih berkenan di hadapan Tuhanku,
mengapa justru harus memilihmu untuk lebih kukenal. Semuanya bermula ketika
keputusan ku untuk datang menginjak kota metropolitan ini. Dari perkampungan
yang jauh, hingga sampai pada kota kelahiranmu ini. Memang aku hanya berniat
untuk mengunjungi saudaraku yang juga
mencari hidup dan mengais rejeki di kota yang penuh lika-liku ini, tetapi
Tuhan justru menghadiahi aku dengan sebuah persoalan iman. Ya, aku
menyebutnya persoalan iman.
Bagaimana tidak, hari-hariku kuhabiskan denganmu. Lelaki
berparas tampan dan baik, tingginya kira-kira 170-an, jika dibandingkan
denganku hanya selenganya. Tutur katanya lemah lembut, baik budinya terpancar
dari sikapnya. Tak bisa kujelaskan
sedetail mungkin tentang dirinya, hanya saja bola mata yang sangat hitam, indah
terpancar dari setiap sudut matanya yang selalu bersemayam dalam ingatanku.
Rambutnya yang terkadang tak beraturan, tapi setiap kuperintah dia akan
merapikanya.
Perkenalanku denganmu hanya di awali dengan sebuah
keisengan di sosial media. Karena punya kesamaan hobi dalam menonton anime yang
sedang ngetren sekarang, hal itu kita jadikan basa basi agar komunikasi kita
tetap terhubung. Hingga semuanya beralih ke WhatsAp. Tak kenal hari, tak kenal
waktu bahkan sesibuk apapun kita, notifikasi darimu yang selalu kutunggu.
Sesekali bercengkerama lewat videocall, hingga kita lupa waktu. Jika sehari
saja aku tak berkabar, kamu akan selalu menanyai kabarku. "Sungguh, aku merasa
sepenting itu aku untukmu" ucapku dulu dalam hati.
***
Hingga perlahan-lahan, tempat peraduan kasih bukan lagi
sebatas media sosial. Tapi pertemuan hangat lah solusinya. ‘’Sin, mau jalan?’’, notifikasi itu yang
selalu kutunggu di layar ponsel ku. Hal
yang sederhana pastinya sangat kusuka darimu. Kemana pun kamu pergi, tak pernah lupa kau
tanyakan padaku untuk ikut atau tidak. Sederhana, berdua denganmu mengelilingi
kota Jakarta, sesekali kau menunjukkan nama tempat, wisata yang sebelumnya tak pernah
ku ketahui seluk beluknya. Jika tiba di lampu merah, dengan sigap tanganmu dengan
lembut mengelus dengkul ku. Entah kesan apa yang tersirat membuatmu nyaman
melakukan hal itu berulang kali.
Sayang, banyak hal yang ingin kuceritakan tentangmu dan
tentang kita. Di bawah langit senja bersama bisikan angin sore, kita berdua
menikmati perjalanan itu dengan canda tawa. Apabila dinginya angin kota menusuk
sampai ke ulu hati, saat itu pula aku
memelukmu dengan penuh kehangatan. Bersembunyi dari nakalnya jerebu sore dan
sekaligus tempat persandaran ternyaman dari peliknya hidup. Sesekali kau usap
lembut rambutku dikala aku terlelap di bahumu. Sungguh pertemuan yang sangat
sempurna. Melewati senja di kota metropolitan, dan disuguhkan cerita-cerita
indah darimu.
Lembar demi lembar kehidupan mulai kita ulas, kedekatan
diantara kita pun semakin terasa. Tidak perduli se sibuk apapun dirimu, jika
aku meminta kau selalu berikan. Banyak hal yang ku suka darimu, caramu yang
memperlakukan ku dengan sangat istimewa yang paling ku suka. Tidak peduli antara gengsi dan malu,
tiba-tiba kamu sudah berada di depan pintu sembari membawa bungkusan makanan,
dengan senyuman yang merekah di sudut bibirmu berkata “Aku tadi masak, cobain”.
Bahagia bukan main rasanya dikejutkan dengan hal-hal yang sederhana darimu.
Yang selalu menanyakan keseharianku bahkan hal kecil sekalipun.
***
Di tengah kerasnya dunia pekerjaan yang selalu membuatmu
terkadang rapuh dan lemah, aku
mengaharapkan diriku lah tempatmu berpulang dan berkeluh kesah. Namun di
sisi lain, Tuhan mu pula lah yang kau utamakan selalu. Ternyata, tak kala
perasaan gundah akan juga menghampiri pelupuk jiwaku. Di saat lembut suaramu
berkata “ Nanti sepulang sholat, ibal mampir yah” ucapmu dengan nada pelan seakan meyakinkanku. Saat itu juga aku
bertanya pada Tuhanku, mengapa di saat kami menghabiskan waktu bersama aku
terkadang lupa bahwa dia tak akan pernah bisa kumiliki sepenuhnya, tak pernah
sedikitpun terlintas dalam pikiranku bahwa ternyata kita adalah dua insan yang
tidak akan pernah bisa menyatu. Engkau tidak pernah lalai dalam menjalankan
ibadahmu, begitu juga denganku yang selalu merendahkan diri dihadapan Tuhanku
dan engkau juga tau keluargaku taat agama, bahkan ayahku sendiri seorang
penatua gereja.
Sayang, satu hal yang juga ingin membuatku jauh. Ketika
aku memberanikan diri untuk mengunjungi rumah orang tuamu. Seorang wanita tua mengenakan
hijab berwarna cokelat membukakan pintu untukku. Dengan penuh kehangatan ia
menyambut kedatanganku. “ Silahkan Nak, masuk”
Ucapnya dengan nada suara yang cukup pelan. Mungkin dikarenakan usianya
yang sudah semakin tua. Aku melangkah masuk, dengan sopan ku raih tangan ibumu
dan ku salam sebagai tanda kenal. Senyuman terbersit disudut-sudut bibirnya,
matanya yang sayu menatapku dengan penuh
keharuan. Namun seketika aku merasa
asing di sana. Kenapa tidak. Ibumu, kakak iparmu, dan keluarga mu yang lainya
tentulah mengenakan hijab, dan aku datang
dengan mengenakan kalung salib yang tidak pernah ku lepas dari leherku. Ibumu pun bahkan melihatnya. Namun, mereka
tetap ramah menerima kedatanganku.
***
Hingga suatu waktu, aku memberanikan diri menanyakan itu
padamu. “ Bal, apa kata ibumu tentang ku?” tanyaku padamu. Dan kamu pun
menjawab “ Ibu ku tau kamu Kristen, ia bilang kalo sekedar berteman boleh-boleh
aja, tapi kalo mau cari yang serius harus yang seiman”. Seketika aku terdiam dan merasa terpukul. Ingin
rasanya ku kubur semua anganku tentang mu. Perasaan berkecamuk hebat dalam
dadaku. Bagaimana mungkin aku menyayangimu. Tetapi aku sudah terlanjur
melakukan itu.
Aku terdiam dalam lamunanku. Pikiran kosong menyayat hati
yang hampa. Aku terlalu memaksakanmu
untuk berteduh dalam kehangatan luka ku. Aku terlalu menaruh harap padamu untuk
menjadikan ku rumah tempat mu berpulang. Ternyata sayang tidak. Kamu juga hanya
sekedar menganggapku teman . Tak bisa kutebak jauh kedalam lubuk hatimu. Ingin
ku berkata kau tidak menyayangiku tapi kamu selalu ada untukku. Ingin pula ku
berkata kau mencintaiku, tapi kau berkata kita hanya sebatas teman. Lantas aku
harus bagaimana? gejolak dalam hatiku dulu sebelum semuanya berubah.
Dan disuatu hari seiring berjalanya waktu, angin pagi
menyusuk secara perlahan ulu hatiku. Bukan kesejukan yang kudapatkan namun
kesesakan. Tiada hujan tiada badai, tiba-tiba semuanya menjadi dingin, sedingin
kabut es yang menyelimuti Samudera Arktik. Menutupi semua ruang dan tak membuka
sedikitpun celah kehangantan untuk masuk.
Dering telfon tiada lagi pernah kuterima. Notifikasi darimu juga tiada
lagi menghias di layar ponselku. Aku terdiam dalam kalang kabut. Apa yang
salah?. Setelah sekian banyak hari-hari yang kita lewati, lantas mengapa
sekarang seakan kita berada secara nyata dalam dunia yang berbeda?. Tiada hari
tanpa mengingatmu. Ingin ku mulai dulu percakapan diantara kita, namun
mengingat balasan pesan singkat darimu akhir pekan lalu membuat hati dan pikiranku memberontak. Jika pun aku menanyakan tentang mu, kau pun tidak berniat
untuk menanyaiku kembali. Sayang, aku berkata semuanya berubah. Persoalan kecil
sering menjadi bahan perselisihan diantara kita berdua hingga mendatangkan ego
masing-masing. Sayang, sesungguhnya kesabaran yang harus kita besarkan bukan
amarah yang menghadiahkan luka.
***
Menatapku pun seakan hanya sekedar ilusi kosong bagimu. Tak
bermakna dan tak menyisakan kerinduan lagi di kedua sisi bola matamu. Kehampaan melekat kuat di sela-sela jiwaku,
fikiranku dipenuhi rasa tanda tanya tentang perubahanmu. Ingin ku paksakan kau
tetap dengan ku sajapun sebuah usaha yang akan sia-sia, karena sampai kapan pun Tuhanmu tidak akan pernah melepaskan mu. Ingin ku
pertahankan pun hanya akan mengharapkan keperihan, karena sampai kapan pun air
tetaplah air yang tidak akan bisa menyatu dengan api.
Sayang, Tuhan maha
membolak balik kan hati hambanya. Sekuat apapun aku berusaha tidak akan ada
yang bisa mengubah kecuali hati itu sendiri. Tak kusalahkan dikau
mengabaikanku. Karena menjalin hubungan denganku pun hanya sebuah kesalahan.
Menghabiskan waktu dengan ku pun hanya akan membuang waktu mu dengan sia-sia.
Di saat engkau mencari sebuah kepastian, tentunya aku tidak akan bisa memberikan
itu. Tidak salah kau menganggapku tidak ada. Yang kupastikan sampai saat ini
memori ingatanku masih sibuk berkelana mengulas kembali kenangan kita berdua.
Jikalau saja engkau sehangat dulu, kita kembali mengelilingi
kota sesekali mencari tempat peristirahatan yang nyaman, akan kupastikan engkau akan kupeluk hangat
sehangat senja sore yang pernah menjadi saksi bisu di antara kita dan akan
kudekap dengan erat dan kuat. Namun harap tinggal harap, angan ku jauh
membumbung luas di langit kota Jakarta. Yang bisa kulakukan hanya menghitung
hari-hari yang akan kuhabiskan disini sebelum tiba waktunya aku kembali pulang
ke kota asalku. Cinta memang diciptakan untuk menyatukan perbedaan, meski agama
yang menjadi perbedaanya. Jika engkau berdoa, tolong katakan pada Tuhanmu, bahwa aku hanya sekedar mencintai umat-Nya.
Bukan merebut dari-Nya.
Banyak orang-orang yang berkata “Manusia itu datang karena penasaran, lalu pergi karena bosan”. Sebuah pernyataan yang paling aku takutkan. Sayang, Jikapun memang harus berpisah, berpisahlah karna perbedaan iman, bukan karena rasa bosan.
Penulis Sintia Clara Aritonang. Asal dari Sipultak
Kecamatan Pagaran Kabupaten Taapanuli Utara. Mahasiswi di Universitas Negeri
Medan, jurusan Ekonomi. Penulis juga menggemari dalam bidang sastra. Pernah terpilih
menjadi Penyair puisi terbaik yang diselenggarakan oleh Lomba Lintang dan sudah
dibukukan.
Editor: Bung Donttel (BD)
Uhh sukaaa..
ReplyDeleteTpi nyatanya LDR terjauh itu beda perasaan😭
Bagus ceritanya, tapi kok tiba² berubah sih cowo nya., harusnya kan ga gitu dia nyikapin nya. Pastiin lagi tuh gmn cowo nya samperin :(
ReplyDelete