Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cinta Terhalang Pagar Tuhan || Cerpen Sintia Clara Aritonang

(Sumber gambar: pixabay.com)

Kenyataanya, LDR terjauh itu ketika Assalamualaikum dibalas dengan Shalom, dan Alhamdulillah dibalas dengan Puji Tuhan. Dua Perbedaan yang tak akan bisa menyatu.

Entah apa alasan Tuhanku mengenalkanmu padaku, dari sekian banyak lelaki yang lebih pantas dan lebih berkenan di hadapan Tuhanku, mengapa justru harus memilihmu untuk lebih kukenal. Semuanya bermula ketika keputusan ku untuk datang menginjak kota metropolitan ini. Dari perkampungan yang jauh, hingga sampai pada kota kelahiranmu ini. Memang aku hanya berniat untuk mengunjungi saudaraku  yang juga mencari hidup dan mengais rejeki di kota yang penuh lika-liku ini, tetapi  Tuhan justru menghadiahi aku dengan sebuah persoalan iman. Ya, aku menyebutnya persoalan iman.

Bagaimana tidak, hari-hariku kuhabiskan denganmu. Lelaki berparas tampan dan baik, tingginya kira-kira 170-an, jika dibandingkan denganku hanya selenganya. Tutur katanya lemah lembut, baik budinya terpancar dari sikapnya. Tak  bisa kujelaskan sedetail mungkin tentang dirinya, hanya saja bola mata yang sangat hitam, indah terpancar dari setiap sudut matanya yang selalu bersemayam dalam ingatanku. Rambutnya yang terkadang tak beraturan, tapi setiap kuperintah dia akan merapikanya.

Perkenalanku denganmu hanya di awali dengan sebuah keisengan di sosial media. Karena punya kesamaan hobi dalam menonton anime yang sedang ngetren sekarang, hal itu kita jadikan basa basi agar komunikasi kita tetap terhubung. Hingga semuanya beralih ke WhatsAp. Tak kenal hari, tak kenal waktu bahkan sesibuk apapun kita, notifikasi darimu yang selalu kutunggu. Sesekali bercengkerama lewat videocall, hingga kita lupa waktu. Jika sehari saja aku tak berkabar, kamu akan selalu menanyai kabarku. "Sungguh, aku merasa sepenting itu aku untukmu" ucapku dulu dalam hati.

***

Hingga perlahan-lahan, tempat peraduan kasih bukan lagi sebatas media sosial. Tapi pertemuan hangat lah solusinya.  ‘’Sin, mau jalan?’’, notifikasi itu yang selalu kutunggu di layar ponsel ku.  Hal yang sederhana pastinya sangat kusuka darimu.  Kemana pun kamu pergi, tak pernah lupa kau tanyakan padaku untuk ikut atau tidak. Sederhana, berdua denganmu mengelilingi kota Jakarta, sesekali kau menunjukkan nama tempat, wisata yang sebelumnya tak pernah ku ketahui seluk beluknya. Jika tiba di lampu merah, dengan sigap tanganmu dengan lembut mengelus dengkul ku. Entah kesan apa yang tersirat membuatmu nyaman melakukan hal itu berulang kali.

Sayang, banyak hal yang ingin kuceritakan tentangmu dan tentang kita. Di bawah langit senja bersama bisikan angin sore, kita berdua menikmati perjalanan itu dengan canda tawa. Apabila dinginya angin kota menusuk sampai ke ulu hati, saat itu pula  aku memelukmu dengan penuh kehangatan. Bersembunyi dari nakalnya jerebu sore dan sekaligus tempat persandaran ternyaman dari peliknya hidup. Sesekali kau usap lembut rambutku dikala aku terlelap di bahumu. Sungguh pertemuan yang sangat sempurna. Melewati senja di kota metropolitan, dan disuguhkan cerita-cerita indah darimu.

Lembar demi lembar kehidupan mulai kita ulas, kedekatan diantara kita pun semakin terasa. Tidak perduli se sibuk apapun dirimu, jika aku meminta kau selalu berikan. Banyak hal yang ku suka darimu, caramu yang memperlakukan ku dengan sangat istimewa yang paling ku suka.  Tidak peduli antara gengsi dan malu, tiba-tiba kamu sudah berada di depan pintu sembari membawa bungkusan makanan, dengan senyuman yang merekah di sudut bibirmu berkata “Aku tadi masak, cobain”. Bahagia bukan main rasanya dikejutkan dengan hal-hal yang sederhana darimu. Yang selalu menanyakan keseharianku bahkan hal kecil sekalipun. 

***

Di tengah kerasnya dunia pekerjaan yang selalu membuatmu terkadang rapuh dan lemah, aku  mengaharapkan diriku lah tempatmu berpulang dan berkeluh kesah. Namun di sisi lain, Tuhan mu pula lah yang kau utamakan selalu. Ternyata, tak kala perasaan gundah akan juga menghampiri pelupuk jiwaku. Di saat lembut suaramu berkata “ Nanti sepulang sholat, ibal mampir yah” ucapmu dengan nada  pelan seakan meyakinkanku. Saat itu juga aku bertanya pada Tuhanku, mengapa di saat kami menghabiskan waktu bersama aku terkadang lupa bahwa dia tak akan pernah bisa kumiliki sepenuhnya, tak pernah sedikitpun terlintas dalam pikiranku bahwa ternyata kita adalah dua insan yang tidak akan pernah bisa menyatu. Engkau tidak pernah lalai dalam menjalankan ibadahmu, begitu juga denganku yang selalu merendahkan diri dihadapan Tuhanku dan engkau juga tau keluargaku taat agama, bahkan ayahku sendiri seorang penatua gereja.

Sayang, satu hal yang juga ingin membuatku jauh. Ketika aku memberanikan diri untuk mengunjungi rumah orang tuamu. Seorang wanita tua mengenakan hijab berwarna cokelat membukakan pintu untukku. Dengan penuh kehangatan ia menyambut kedatanganku. “ Silahkan Nak, masuk”  Ucapnya dengan nada suara yang cukup pelan. Mungkin dikarenakan usianya yang sudah semakin tua. Aku melangkah masuk, dengan sopan ku raih tangan ibumu dan ku salam sebagai tanda kenal. Senyuman terbersit disudut-sudut bibirnya, matanya yang sayu  menatapku dengan penuh keharuan. Namun  seketika aku merasa asing di sana. Kenapa tidak. Ibumu, kakak iparmu, dan keluarga mu yang lainya tentulah mengenakan hijab,  dan aku datang dengan mengenakan kalung salib yang tidak pernah ku lepas dari leherku.  Ibumu pun bahkan melihatnya. Namun, mereka tetap  ramah menerima kedatanganku.

***

Hingga suatu waktu, aku memberanikan diri menanyakan itu padamu. “ Bal, apa kata ibumu tentang ku?” tanyaku padamu. Dan kamu pun menjawab “ Ibu ku tau kamu Kristen, ia bilang kalo sekedar berteman boleh-boleh aja, tapi kalo mau cari yang serius harus yang seiman”. Seketika  aku terdiam dan merasa terpukul. Ingin rasanya ku kubur semua anganku tentang mu. Perasaan berkecamuk hebat dalam dadaku. Bagaimana mungkin aku menyayangimu. Tetapi aku sudah terlanjur melakukan itu.

Aku terdiam dalam lamunanku. Pikiran kosong menyayat hati yang hampa.  Aku terlalu memaksakanmu untuk berteduh dalam kehangatan luka ku. Aku terlalu menaruh harap padamu untuk menjadikan ku rumah tempat mu berpulang. Ternyata sayang tidak. Kamu juga hanya sekedar menganggapku teman . Tak bisa kutebak jauh kedalam lubuk hatimu. Ingin ku berkata kau tidak menyayangiku tapi kamu selalu ada untukku. Ingin pula ku berkata kau mencintaiku, tapi kau berkata kita hanya sebatas teman. Lantas aku harus bagaimana? gejolak dalam hatiku dulu sebelum semuanya berubah.

Dan disuatu hari seiring berjalanya waktu, angin pagi menyusuk secara perlahan ulu hatiku. Bukan kesejukan yang kudapatkan namun kesesakan. Tiada hujan tiada badai, tiba-tiba semuanya menjadi dingin, sedingin kabut es yang menyelimuti Samudera Arktik. Menutupi semua ruang dan tak membuka sedikitpun celah kehangantan untuk masuk.  Dering telfon tiada lagi pernah kuterima. Notifikasi darimu juga tiada lagi menghias di layar ponselku. Aku terdiam dalam kalang kabut. Apa yang salah?. Setelah sekian banyak hari-hari yang kita lewati, lantas mengapa sekarang seakan kita berada secara nyata dalam dunia yang berbeda?. Tiada hari tanpa mengingatmu. Ingin ku mulai dulu percakapan diantara kita, namun mengingat balasan pesan singkat darimu akhir pekan lalu membuat hati dan pikiranku memberontak. Jika pun aku menanyakan tentang mu, kau pun tidak berniat untuk menanyaiku kembali. Sayang, aku berkata semuanya berubah. Persoalan kecil sering menjadi bahan perselisihan diantara kita berdua hingga mendatangkan ego masing-masing. Sayang, sesungguhnya kesabaran yang harus kita besarkan bukan amarah yang menghadiahkan luka.

***

Menatapku pun seakan hanya sekedar ilusi kosong bagimu. Tak bermakna dan tak menyisakan kerinduan lagi di kedua sisi bola matamu.  Kehampaan melekat kuat di sela-sela jiwaku, fikiranku dipenuhi rasa tanda tanya tentang perubahanmu. Ingin ku paksakan kau tetap dengan ku sajapun sebuah usaha yang akan sia-sia,  karena sampai kapan pun Tuhanmu  tidak akan pernah melepaskan mu. Ingin ku pertahankan pun hanya akan mengharapkan keperihan, karena sampai kapan pun air tetaplah air yang tidak akan bisa menyatu dengan api.

Sayang,  Tuhan maha membolak balik kan hati hambanya. Sekuat apapun aku berusaha tidak akan ada yang bisa mengubah kecuali hati itu sendiri. Tak kusalahkan dikau mengabaikanku. Karena menjalin hubungan denganku pun hanya sebuah kesalahan. Menghabiskan waktu dengan ku pun hanya akan membuang waktu mu dengan sia-sia. Di saat engkau mencari sebuah kepastian, tentunya aku tidak akan bisa memberikan itu. Tidak salah kau menganggapku tidak ada. Yang kupastikan sampai saat ini memori ingatanku masih sibuk berkelana mengulas kembali kenangan kita berdua.

Jikalau saja engkau sehangat dulu, kita kembali mengelilingi kota sesekali mencari tempat peristirahatan yang nyaman,  akan kupastikan engkau akan kupeluk hangat sehangat senja sore yang pernah menjadi saksi bisu di antara kita dan akan kudekap dengan erat dan kuat. Namun harap tinggal harap, angan ku jauh membumbung luas di langit kota Jakarta. Yang bisa kulakukan hanya menghitung hari-hari yang akan kuhabiskan disini sebelum tiba waktunya aku kembali pulang ke kota asalku. Cinta memang diciptakan untuk menyatukan perbedaan, meski agama yang menjadi perbedaanya. Jika engkau berdoa, tolong katakan pada Tuhanmu,  bahwa aku hanya sekedar mencintai umat-Nya. Bukan merebut dari-Nya.

Banyak orang-orang yang berkata “Manusia itu datang karena penasaran, lalu pergi karena bosan”. Sebuah pernyataan yang paling aku takutkan. Sayang, Jikapun memang harus berpisah, berpisahlah karna perbedaan iman, bukan karena rasa bosan.

 

Penulis Sintia Clara Aritonang. Asal dari Sipultak Kecamatan Pagaran Kabupaten Taapanuli Utara. Mahasiswi di Universitas Negeri Medan, jurusan Ekonomi. Penulis juga menggemari dalam bidang sastra. Pernah terpilih menjadi Penyair puisi terbaik yang diselenggarakan oleh Lomba Lintang dan sudah dibukukan.

Editor: Bung Donttel (BD)

 

2 comments for "Cinta Terhalang Pagar Tuhan || Cerpen Sintia Clara Aritonang"

  1. Uhh sukaaa..
    Tpi nyatanya LDR terjauh itu beda perasaan😭

    ReplyDelete
  2. Bagus ceritanya, tapi kok tiba² berubah sih cowo nya., harusnya kan ga gitu dia nyikapin nya. Pastiin lagi tuh gmn cowo nya samperin :(

    ReplyDelete