Frater Aku Mencintaimu || Cerpen BD
Sudah
sekian kali aku berdiam diri. Mengurung sekian juta perasaan yang telah hancur
berkeping-keping. Sudah sekian banyak aku mengambil jalan paling buntu di saat
aku tak lagi sanggup menopang sunyi. Perasaan yang dulu tumbuh dengan sekian
sukacita, kini aku harus berjuang menumbuhkan kembali bahkan aku berjuang untuk lebih dari yang dulu. Itu bukan perkara
mudah. Apalagi memperbaiki hati yang telah hancur adalah jalan yang paling rumit. Serasa melintasi bibir jurang yang penuh dengan kerikil. Jika salah
melangkah maka sudah pasti akan jatuh pada
jurang.
Mungkinkah
aku sanggup dengan semua itu. cara paling mudah meyakinkan diri untuk terus
melangkah. Meski itu terlalu berat, apalagi berjalan sendiri tanpa ada yang
menemani untuk bertatih. Hampir setiap saat aku berusaha riang. Bertingkah gila
layaknya anak yang masih labil. Tetapi sama saja, itu tak mampu mengobati rasa
kecewaku pada masa lalu.
***
Kecewa dengan diri yang terlalu mudah untuk
jatuh cinta. Sehingga sampai tak sadar aku telah mencintai orang yang
sebenarnya mencintai banyak orang. Itu salahku. Bukan salahnya yang santai
menebar rasa. Aku baru tahu, itulah caranya untuk mencintai semua orang.
Sudah
satu tahun lebih ada bersama di tempat ini. katanya, ia hanya datang untuk
praktik. Mungkin tidak lama. Tetapi kehadirnya membuat banyak orang terkagum. Dengan
sosoknya yang santun serta pandai menempatkan diri pada setiap momen membuat
orang semakin menyukainya. Ia adalah salah satu tipe laki-laki yang aku
idamkan. Mulai dari caranya berjalan sampai ia berkata-kata pada mimbir membuat
hatiku semakin meleleh. Pokoknya ia terlalu sempurna untuk aku cintai.
Tujuh
bulan yang lalu, saat aku mendatanginya di pastoran, aku cukup gugup dengnnya. Mungkin
karena pertama kali aku bersua langsung dengannya. Aku cukup canggung untuk memulai
obrolan. Pada saat itu aku datang untuk mengkonfirmasi tentang lagu-lagu yang
akan dibawakan pada saat natal.
***
Aku
mencoba mengambil jarak dengannya, tetapi ia tahu, aku malu. Lalu ia mengambil
tempat, tepat di sampingku. Aku mulai gugup. Andai saja, ada cara lain agar aku
cepat beranjak pergi pasti aku langsung mengambil
cara itu. Agar aku bisa menghindarinya. Semakin aku mencoba menjauh darinya,
hatiku tetap beranjak dekat dengannya. Mungkin ini yang orang bilang “Raga tak mampu
menyembunyikan rasa”.
Sejak
itu, aku semakin jatuh cinta dengannya. Setiap hari aku mencoba mencari alasan agar
aku bisa bertemu dengannya. Hingga akhirnya ia tahu, bahwa aku mencintainya. Iapun
berusah agar aku bertingkah renyah di hadapannya. Caranya cukup licik, ia
membiarkan rasaku bertembaran pada waktu. Ia tak peduli seberapa harapanku
padanya.
***
Setiap kali aku berjumpa denganya, ingin
sekali aku mengungkapkan perasaanku tetapi aku cukup malu. Ia terlalu wibawa
untuk mendengarkan ungkapan rasaku. Itu cukup sulit, berjuang rasa pada harapan
yang tak jelas. ingin sekali aku mengkebiri rindu tetapi aku tak sanggup. Membunuhnya
dalam perasaaan itu adalah dosa. Aku tidak mau berdosa lantas harus mencacinya
sebagai laki-laki mati rasa.
Diakhir
masa praktiknya, ia mulai berjalan ke mimbar. Itulah kata-kata yang terakhir
kali aku dengar darinya. “Mohon maaf bila ada salah”. Aku mulai mengerutkan
kening. Rasa cintaku mulai bertaburan. Ingin
sekali aku menuangkan rasa padanya. Tetapi masih cukup canggung. Setelah selesai
misa pengutusannya. Aku mengejarnya sampai ke pastoran. “Kaka Frater, aku
mencintaimu. Apa boleh engkau bertahan sedikit lebih lama?’ tanyaku.
***
Entah, setan apa yang merasuki saraf sadarku, sampai aku berani berkata-kata demikian. Aku hanya tersenyum sendiri, sudah pas waktunya. Jika ia pergi tanpa mengetahui aku mencintainya, pasti aku semakin gila. Apalagi ia tidak pernah menyibukan diri dengan hp.
Iapun berkata “Makasih banyak, engkau telah mencintaiku. Cintamu sudah
cukup bila engkau setia mendoakan jalan panggilanku”. Akupun tunduk. Ingin sekali
aku menampar wajahnya. Tetapi aku tak sanggup. Apa yang ia katakan itulah
kebenaran.
***
Aku
semakin stress melihat ia kembali tersenyum. Iapun kembali berkata “Saya sudah
mengetahuinya dari dulu, tetapi saya sengaja. Seberapa beraninya engkau
mengatakan itu secara langsung”. "Hissssss,,,, kaka frater nih", candaku. Pada saat itu kami
mulai berpisah. Berpisah dari rasa yang sudah menghantuiku sejak lama.
Aku lega, melihat ia berjalan dengan memegang Alkitab. Sebab aku tahu, cintaku terlalu mungil bila berhadapan dengan Sang Tuan kitab itu. “Teruslah berjalan, doaku akan selalu setia menemani jubahmu”, tulisku pada sebuah kertas yang akan aku sisipkan pada saku tasnya.
Post a Comment for "Frater Aku Mencintaimu || Cerpen BD"