Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Frater Aku Mencintaimu || Cerpen BD

 

(Sumber Gambar: www.sanskertaonline.id)

"Jalan yang paling tulus mencintai mereka yang lebih mencintai banyak orang adalah mengikhlaskannya. Tetapi itu tidak cukup, engkau juga harus mendokannya dengan setia. Membiarkan  jubahnya menggantung tinggi pada tiang-tiang raganya. Itulah cintamu yang paling benar" (BD)

Sudah sekian kali aku berdiam diri. Mengurung sekian juta perasaan yang telah hancur berkeping-keping. Sudah sekian banyak aku mengambil jalan paling buntu di saat aku tak lagi sanggup menopang sunyi. Perasaan yang dulu tumbuh dengan sekian sukacita, kini aku harus berjuang menumbuhkan kembali bahkan aku berjuang untuk lebih dari yang dulu. Itu bukan perkara mudah. Apalagi memperbaiki hati yang telah hancur adalah jalan yang paling rumit. Serasa melintasi bibir jurang yang penuh dengan kerikil. Jika salah melangkah  maka sudah pasti akan jatuh pada jurang.

Mungkinkah aku sanggup dengan semua itu. cara paling mudah meyakinkan diri untuk terus melangkah. Meski itu terlalu berat, apalagi berjalan sendiri tanpa ada yang menemani untuk bertatih. Hampir setiap saat aku berusaha riang. Bertingkah gila layaknya anak yang masih labil. Tetapi sama saja, itu tak mampu mengobati rasa kecewaku pada masa lalu.

***

 Kecewa dengan diri yang terlalu mudah untuk jatuh cinta. Sehingga sampai tak sadar aku telah mencintai orang yang sebenarnya mencintai banyak orang. Itu salahku. Bukan salahnya yang santai menebar rasa. Aku baru tahu, itulah caranya untuk mencintai semua orang.

Sudah satu tahun lebih ada bersama di tempat ini. katanya, ia hanya datang untuk praktik. Mungkin tidak lama. Tetapi kehadirnya membuat banyak orang terkagum. Dengan sosoknya yang santun serta pandai menempatkan diri pada setiap momen membuat orang semakin menyukainya. Ia adalah salah satu tipe laki-laki yang aku idamkan. Mulai dari caranya berjalan sampai ia berkata-kata pada mimbir membuat hatiku semakin meleleh. Pokoknya ia terlalu sempurna untuk aku cintai.

Tujuh bulan yang lalu, saat aku mendatanginya di pastoran, aku cukup gugup dengnnya. Mungkin karena pertama kali aku bersua langsung dengannya. Aku cukup canggung untuk memulai obrolan. Pada saat itu aku datang untuk mengkonfirmasi tentang lagu-lagu yang akan dibawakan pada saat natal.

***

Aku mencoba mengambil jarak dengannya, tetapi ia tahu, aku malu. Lalu ia mengambil tempat, tepat di sampingku. Aku mulai gugup. Andai saja, ada cara lain agar aku cepat beranjak  pergi pasti aku langsung mengambil cara itu. Agar aku bisa menghindarinya. Semakin aku mencoba menjauh darinya, hatiku tetap beranjak dekat dengannya. Mungkin ini yang orang bilang “Raga tak mampu menyembunyikan rasa”.

Sejak itu, aku semakin jatuh cinta dengannya. Setiap hari aku mencoba mencari alasan agar aku bisa bertemu dengannya. Hingga akhirnya ia tahu, bahwa aku mencintainya. Iapun berusah agar aku bertingkah renyah di hadapannya. Caranya cukup licik, ia membiarkan rasaku bertembaran pada waktu. Ia tak peduli seberapa harapanku padanya.

***

 Setiap kali aku berjumpa denganya, ingin sekali aku mengungkapkan perasaanku tetapi aku cukup malu. Ia terlalu wibawa untuk mendengarkan ungkapan rasaku. Itu cukup sulit, berjuang rasa pada harapan yang tak jelas. ingin sekali aku mengkebiri rindu tetapi aku tak sanggup. Membunuhnya dalam perasaaan itu adalah dosa. Aku tidak mau berdosa lantas harus mencacinya sebagai laki-laki mati rasa.

Diakhir masa praktiknya, ia mulai berjalan ke mimbar. Itulah kata-kata yang terakhir kali aku dengar darinya. “Mohon maaf bila ada salah”. Aku mulai mengerutkan kening. Rasa cintaku mulai bertaburan.  Ingin sekali aku menuangkan rasa padanya. Tetapi masih cukup canggung. Setelah selesai misa pengutusannya. Aku mengejarnya sampai ke pastoran. “Kaka Frater, aku mencintaimu. Apa boleh engkau bertahan sedikit lebih lama?’ tanyaku.

***

Entah, setan apa yang merasuki saraf sadarku, sampai aku berani berkata-kata demikian. Aku hanya tersenyum sendiri, sudah pas waktunya. Jika ia pergi tanpa mengetahui aku mencintainya, pasti aku semakin gila. Apalagi ia tidak pernah menyibukan diri dengan hp. 

Iapun berkata “Makasih banyak, engkau telah mencintaiku. Cintamu sudah cukup bila engkau setia mendoakan jalan panggilanku”. Akupun tunduk. Ingin sekali aku menampar wajahnya. Tetapi aku tak sanggup. Apa yang ia katakan itulah kebenaran.

***

Aku semakin stress melihat ia kembali tersenyum. Iapun kembali berkata “Saya sudah mengetahuinya dari dulu, tetapi saya sengaja. Seberapa beraninya engkau mengatakan itu secara langsung”. "Hissssss,,,, kaka frater nih", candaku. Pada saat itu kami mulai berpisah. Berpisah dari rasa yang sudah menghantuiku sejak lama.

Aku lega, melihat ia berjalan dengan memegang Alkitab. Sebab aku tahu, cintaku terlalu mungil bila berhadapan dengan Sang Tuan kitab itu. “Teruslah berjalan, doaku akan selalu setia menemani jubahmu”, tulisku pada sebuah kertas yang akan aku sisipkan pada saku tasnya.

Post a Comment for "Frater Aku Mencintaimu || Cerpen BD"